Kamis, 14 Januari 2016

PENERAPAN TEORI SIMBOLISME



PENERAPAN TEORI SIMBOLISME

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.  LATAR BELAKANG

Budaya memiliki berbagai unsur yang menjadikannya utuh dan lengkap dalam kehidupan manusia. Berbagai unsur kebudayaan dapat menunjang keberlangsungan hidup manusia. Menurut Koentjaraningrat (1985) terdapat 7 unsur kebudayaan, yaitu : sistem religi, sistem organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem – sistem ekonomi, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan kesenian. Sistem-sistem tersebut yang mengiringi perjalanan hidup manusia dari dulu sampai sekarang.
Sedangkan dalam ilmu pengetahuan tentang budaya kita mengenal ada 5 teori kebudayaan, yaitu: evolusionisme, fungsionalisme, strukturalisme, simbolisme, dan postmodernisme. Kelima teori tersebut memiliki peran masing-masing dalam suatu kebudayaan. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang bagaimana penerapan salah satu dari lima teori yang ada, yaitu simbolisme. Semua suku bangsa-bangsa memiliki simbol-simbol tertentu yang tidak dapat dalam kehidupan setiap suku bangsa. Hal tersebut dilakukan di dalam konteks hubungan sosial yang lebih luas yakni dalam kata-kata, gerak-gerik dan tata cara “masyarakat”. Melalui bentuk bentuk simbolis, kesejahteraan suku dipelihara. Namun pengakuan luas tentang  pentingnya simbol tidak menghasilkan penafsiran yang seragam.
Menurut Firth dalam bukunya, Symbol: Public and Private, menuliskan bahwa sebuah simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau untuk menggugah kepatuhan-kepatuhan sosial. Jadi, simbol dalam suatu budaya dapat mengontrol kehidupan suatu masyarakat untuk taat pada aturan dan norma. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai penerapan teori simbolisme dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini budaya yang masih terjadi sampai saat ini. Ada beberapa contoh penerapan simbolisme secara nyata yang akan dipaparkan dalam makalah ini, antara lain: upacara adat pernikahan, dan lain-lain.

1.2.  RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana penerapan teori simbolisme dalam suatu kebudayaan?

2.      Apa makna suatu budaya yang terjadi dalam masyarakat sebagai suatu simbol?

1.3.  TUJUAN

Tujuan penulisan makalah ini, antara lain sebagai berikut:

1.      Menjelaskan penerapan teori simbolisme dalam suatu kebudayaan

2.      Menjelaskan makna simbol dari suatu budaya yang terjadi di masyarakat.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.  SIMBOL KEBUDAYAAN PADA UPACARA PERNIKAHAN ADAT JAWA

Budaya Jawa merupakan salah satu kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia yang di dalam tradisinya memiliki nilai-nilai keluhuran dan kearifan budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa. Setiap tradisi dalam masyarakat Jawa memiliki arti dan makna filosofis yang mendalam dan luhur karena tradisi ini sudah ada sejak zaman kuno saat kepercayaan masyarakat Jawa masih animisme-dinamisme. Tradisi Jawa ini semakin berkembang dan mengalami perubahan seiring masuknya agama Hindu-Budha hingga Islam ke tanah Jawa.
Tradisi adalah kumpulan benda material dan gagasan yang diberi makna khusus dan berasal dari masa lalu. Di dalam tradisi Jawa tersebut khas dengan adanya sesaji yang dibuat berdasarkan kegunaan masing-masing yang mempunyai makna dan tujuan berbeda satu sama lain. Tradisi dalam masyarakat Jawa masih mengenal sesaji. Bahkan sampai sekarang masih ada banyak masyarakat Jawa yang meneruskan tradisi sesaji.
Ada bermacam-macam sesaji dalam kehidupan masyarakat Jawa sesuai dengan upacara yang diselenggarakan, salah satunya sesaji dalam pernikahan adat Jawa. Di dalam sesaji pernikahan sendiri ada empat jenis sesaji, yaitu: sesaji pasang tarub, sesaji siraman, sesaji midodareni, sesaji panggih atau temu. Tradisi kuno masyarakat Jawa memiliki tata cara lengkap dalam pernikahan, sebelum pernikahan, hari pelaksanaan, dan sesudah pelaksanaan pernikahan. Meskipun zaman semakin berkembang dan mengglobal, namun masih ada masyarakat Jawa mempunyai kebiasaan untuk tetap mempertahankan tradisi dari nenek moyang. Setiap sesaji mempunyai makna sendiri-sendiri, bahkan cara pembuatan dan penyajiannya juga berbeda-beda. Kekayaan makna dalam sesaji ini menggambarkan roda hidup, liku-liku dan naik turun kehidupan manusia dari lahir hingga kematian.
Jika dilihat pada pijakan hidup masyarakat Jawa yang terdiri dari: Dhama (kewajiban), Harta (kekayaan), Kama (asmara), dan Moksa (hilang), upacara pernikahan zaman sekarang seakan lebih kuat berorientasi pada harta dan melupakan dharma. Masyarakat Jawa harus melihat kembali representasi sesaji dalam pernikahan adat Jawa, karena selain wujud lain dari doa syukur dan permohonan kelancaran, masyarakat Jawa juga dapat ikut serta melestarikan kebudayaannya sendiri.
Sebelum upacara pernikahan dilakukan, harus ada prosesi yang dilakukan oleh pihak laki-laki mau pun pihak perempuan. Adapun tata cara pernikahan adat Jawa adalah sebagai berikut:
1.      Tahap I (Tahap Pembicaraan)
Yaitu pembicaraan antara pihak keluarga calon pengantin laki-laki dengan pihak keluarga calon pengantin perempuan, mulai pembicaraan pertama sampai tingkat melamar dan menentukan hari pernikahan atau gethok dina.

2.      Tahap II (Tahap Kesaksian)
Tahap ini merupakan tahap peneguhan pembicaraan yang disaksikan oleh pihak ketiga, yaitu warga, kerabat atau para sesepuh yang ada disekeliling tempat tinggalnya melalui acara-acara sebagai berikut:
a.       Srah-srahan
Yaitu menyerahkan seperangkat perlengkapan untuk melancarkan pelaksanaan acara sampai dengan hajat berakhir. Ada beberapa simbol barang-barang yang mempunyai arti dan makna khusus seperti: cincin, seperangkat busana putri, makanan tradisional, buah-buahan, daun sirih, dan uang. Adapun makna dari simbol barang-barang itu adalah:
1)      Cincin emas
Cincin emas berbentuk bulat yang tiada putusnya. Hal itu mempunyai makna agar cinta mereka abadi tidak terputus sepanjang hidup.
2)      Seperangkat busana putrid
Barang ini mempunyai makna bahwa dimasing-masing pihak harus pandai menyimpan rahasia terhadap orang lain.
3)      Perhiasan yang terbuat dari emas, intan, dan berlian
Mengandung makna agar calon pengantin putri selalu berusaha untuk tetap bersinar dan tidak membuat kecewa.
4)      Makanan tradisional
Makanan tradisional ini terdiri dari jadah, wajik, dan jenang. Semua makanan tersebut terbuat dari beras ketan. Wujud beras ketan sebelum dimasak hambur, tetapi setelah dimasak akan menjadi lengket. Begitu juga harapan yang tersirat, semoga cinta kedua calon pengantin akan selalu lengket selama-lamanya.
5)      Buah-buahan
Bermakna penuh harap agar cinta mereka menghasilkan buah kasih yang bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat.
6)      Daun sirir
Muka dan punggung daun sirih mempunyai rupa yang berbeda. Tetapi kalau digigit akan sama rasanya. Jadi, daun sirih ini mempunyai makna satu hati, berbulat tekad tanpa harus mengorbankan perbedaan.
b.      Peningset
Peningset adalah lambang kuatnya pembicaraan untuk mewujudkan dua kesatuan yang ditandai dengan tukar cincin antara kedua calon pengantin.
c.       Asok tukon
Yaitu penyerahan dana berupa sejumlah uang untuk membantu meringankan keuangan kepada keluarga calon pengantin perempuan.
d.      Gethok dina
Menetapkan kepastian untuk pelaksanaan ijab qobul dan acara resepsi. Untuk mencari hari, tanggal, dan bulan biasanya dimantakan saran oleh orang yang ahli dalam perhitungan Jawa.

3.      Tahap III (Tahap Siaga)
Pada tahap ini, yang punya hajat akan mengundang para sesepuh ataupun sanak saudara untuk membentuk panitia guna melaksanakan kegiatan acara-acara sebelum pernikahan, acara pernikahan, dan sesudah acara pernikahan. Ada beberapa acara dalam tahap siaga ini, yaitu:
a.       Sedhahan
Yaitu acara mulai merakit hingga membagi undangan.
b.      Kumbakarna
Kumbakarna adalah pertemuaan membentuk panitia hajatan mantu, dengan cara:
i.        Pemberitahuan dan permohonan bantuan kepada sanak saudara, keluarga, dan tetangga.
ii.      Adanya rincian program kerja untuk panitia dan para pelaksana.
iii.    Mencukupi segala
iv.    Pemberitahuan tentang pelaksanaan hajatanserta telah selesainya pembuatan undangan.
c.       Jenggolan atau jonggolan
Yaitu calon pengantin laki-laki melapor ke KUA. Tata cara ini sering disebut tandhakan atau tandhan. Artinya memberitahukan dan melapor kepada pencatatan sipil bahwa akan ada acara hajatan pernikahan yang dilanjutkan dengan pembekalan pernikahan.

4.      Tahap IV (Tahap Rangkaian Upacara)
            Sebelum pada acara pernikahan biasanya ada beberapa tata cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya, yaitu:
a.       Pasang bleketepe dan tarub
      Biasanya sehari sebelum acara pernikahan, pintu gerbang di rumah calon pengantin perempuan dipasangi tarub dan bleketepe. Dan dibuat gapura yang dihiasi dengan tanaman dan dedaunan yang mempunyai makna simbolis.
      Di kiri dan kanan gapura dipasangi pohon pisang yang telang berbuah dan sudah matang. Hal itu mempunyai makna bahwa suami akan menjadi kepala keluarga ditengah kehidupan masyarakat. Seperti pohon pisang yang bisa tumbuh baik dimanapun dan rukun dengan lingkungannya. Sepasang tebu wulung, pohon tebu yang berwarna kemerahan merupakan simbol mantapnya kalbu, pasangan ini akan membina dengan sepenuh hati keluarga mereka kelak. Cengkir gadhing, buah kelapa kecil yang berwarna kuning ini mempunyai makna kencangnya atau kuatnya pikiran baik, sehingga pasangan ini sungguh-sungguh terikat dalam kehidupan bersama yang saling mencintai.
      Berbagai macam dedaunan yang digunakan untuk menghiasi tarub adalah beringin, mojokoro, alang-alang, dadap srep. Itu semua merupakan harapan agar pasangan ini nantinya hidup dan tumbuh dalam keluarga yang selalu selamat dan sejahtera.
      Selain pemasangan hiasan berupa tumbuhan dan dedaunan pada gapura tarub, anyaman daun kelapa yang biasa disebut bleketepe digantungkan pada gapura tarub. Hal ini memunyai makna untuk mengusir segala gangguan dan roh jahat serta menjadi pertanda bahwa di rumah ini ada acara perkawinan.
      Ada beberapa sesaji khusus sebelum pemasangan tarub dan bleketepe. Sesaji tersebut terdiri dari: nasi tumperng, bermacam-macam buah-buahan termasuk pisang dan kelapa, berbagai macam lauk pauk, kue, minuman, bunga, jamu, daging kerbau, gula kelapa dan sebuah lentera. Sesaji tersebut mempunyai makna agar mendapat berkah dari Tuhan dan restu dari para leluhur serta untuk menolak godaan dari para makhluk jahat. Sesaji biasanya diletakkan di tempa-tempat tertentu seperti: dapur, kamar mandi, pintu depan rumah, bawah tarub, jalan dekat rumah, dan lain-lain.
b.      Kembar mayang
             Kembar mayang juga sering disebut dengan Kalpataru Dewandaru, sebagai lambang kebahagiaan dan keselamatan. Benda ini biasa dipasang di panti atau asasana wiwara yang digunakan dalam acara panebusing kembar mayang dan upacara panggih. Apabila acara sudah selesai, kembar mayang akan dibuang di perempatan jalan, sungai, atau laut agar kedua mempelai selalu ingat asal muasalnya.
c.       Pasang tuwuhan atau pasren
             Tuwuhan atau tumbuh-tumbuhan dipasang di tempat duduk pengantin atau tempat pernikahan. Tuwuhan ini melambangkan isi alam semesta dan memiliki makna tersendiri dalam budaya Jawa.

Sebelum dimulainya acara pernikahan ada beberapa rangkaian upacara, yaitu sebagai berikut:
1)      Upacara siraman
           Upacara siraman mengandung arti memandikan calon pengantin yang disertai dengan niat membersihkan diri agar menjadi bersih dan suci lahir serta batinnya. Calon pengantin perempuan dimandikan di rumah orang tuanya, dan calon pengantin laki-laki juga dimandikan di rumah orang tuanya. Ada beberapa sesaji yang diperlukan dalam upacara siraman ini, yaitu: ayam panggang bumbu ketumbar dan bawang, dua buah kelapa yang baru tumbuh, tumpeng robyong, dan jajanan pasar.
Ada beberapa langkah dalam pelaksanaan upacara siraman, yaitu:
a.       Persiapan tempat untuk upacara siraman
b.      Daftar orang yang ikut memandikan. Selain kedua orang tuanya, ada orang lain yang juga ikut memandikan. Biasanya adalah orang yang sudah sepuh, mempunyai anak cucu, dan reputasi kehidupan yang baik.
c.       Menyiapkan barang yang diperlukan dalam upacara
d.      Sesaji untuk upacara siraman, salah satunya seekor ayam jago
e.       Pihak keluarga pengantin perempuan mengantarkan sebaskom air kepada pihak keluarga pengantin laki-laki. Air itu disebut sebai air suci perwitosari, yang artinya sari kehidupan. Air tersebut dicampur dengan berbagai macam bunga dan ditaruh di wadah yang bagus. Air suci perwitosari ini sebagai campuran untuk memandikan calon pengantin laki-laki.
f.       Pihak terakhir yang memandikan calon pengantin adalah pamaes, yang menyirami calon pengantin dengan air dari sebuah kendi. Ketika air dalam kendi itu sudah habis, maka sesepuh yang telah ditunjuk akan memecahkan kendinya dan berkata “wis pecah pamore”. Artinya calon pengantin yang cantik atau gagah sudah siap untuk menikah.

2)      Adol dhawet
           Setelah selesai upacara siraman, maka segera dilakukan penjualan dawet. Yang menjadi penjual adalah ibu dari calon pengantin peermpuan yang dipayungi oleh ayah calon pengantin perempuan. Kemudian yang menjadi pembeli adalah para tamu yang hadir, dengan menggunakan pecahan genting sebagai uangnya.
3)      Paes
           Paes adalah upacara menghilangkan rambut halus di sekitar dahi agar tampak bersih dan wajahnya bercahaya, kemudian merias calon pengantin. Paes ini menyimbolkan harapan kedudukan yang luhur diapit lambing bapak ibu serta keturunan. Dalam upacara paes juga ada sesajinya, yaitu sama dengan sesaji pada upacara siraman.
4)      Upacara midodareni
           Upacara ini berarti menjadikan calon pengantin perempuan secantik Dewi Widodari. Dalam upacara ini, orang tua pengantin perempuan akan memberi anaknya makan untuk terakhir kalinya, karena mulai besok dia akan menjadi tanggungjawab suaminya. Ada sesaji khusus dalam upacara midodareni, yaitu pisang raja yang bagus berjumlah genap satu tangkep, seikat daun sirih yang bagus, jajanan pasxar lengkap, bunga setaman atau kembang telon, nasi gurih, ingkung ayam jantan lengkap dengan jeroannya, sambel goreng, lalapan (timun dan kemangi). Khusus intuk pengantin perempuan dibuat pindang antep, yaitu jeroan ayam dibumbu pindang dan dimakan dengan nasi gurih setelah pukul 12 malam.
5)      Nyanti atau nyantrik
           Nyantrik adalah pacara penyerahan dan penerimaan yang ditandai dengan datangnya calon pengantin laki-laki beserta pengiringnya. Jika acara ijab dilakukan besok, maka acara ini dimanfaatkan untuk bertemu dan berkenalan dengan sanak saudara terdekatdi tempat mempelai laki-laki. Apabila ada kakak perempuan yang dilangkahi, maka acara penting lainnya adalah pemberian restu dan hadiah sesuai dengan kemampuan mempelai sebagai plangkahan.

5.      Tahap V (Tahap puncak dari rangkaian acara dan merupakan inti acara)
a.       Upacara ijab
Sebagai prosesi pertama pada acara iniadalah pelaksanaan ijab yang melibatkan pihak penghulu dari KUA. Setelah acara ini berjalan dengan lancar dan dianggap sah, maka kedua mempelai resmi menjadi suami istri.
b.      Upacara panggil
Setelah upacara ijab selasai, kemudian dilanjutkan dengan upacara panggih yang meliputi:
·      Liron kembar mayang atau saling menukar kembar mayang dengan makna dan tujuan bersatu cipta, rasa, dan karsa demi kebahagiaan dan keselamatan.
·      Gantal atau lempar sirih, mempunyai makna agar semua godaan hilang karena lemparan itu.
·      Ngidak endhog atau pengantin laki-laki menginjak telur ayam kemudian dibersihkan atau dicuci kakinya oleh pengantin perempuan, hal itu mempunyai makna bahawa seksual kedua mempelai sudah pecah pamornya.
·      Minum air kelapa yang menjadi lambang air suci, air hidup, air mani dan dilanjutkan dengan dikepyok bunga warna warni dengan harapan keluarga mereka dapat berkembang segala-galanya dan bahagia lahir batin.
·      Sindur, yaitu menyampirkan kain (sindur) ke pundak pengantin dan menuntun pasangan pengantin ke kursi pelaminan dengan harapan keduanya pantang menyerah dan siap menghadapi tantangan hidup.
·      Setelah upacara panggih, kedua mempelai diantar duduk ke sasana rinengga. Kemudian acarapun dilanjutkan.
·      Timbangan yaitu kedua mempelai duduk di pangkuan ayah pengantin perempuan sebagai simboh bahwa sang ayah mengukur keseimbangan masing-masing pengantin.
·      Kacar kucur, dijalankan dengan cara pengantin laki-laki mengucurkan penghasilan kepada pengantin perempuan berupa uang receh beserta kelengkapannya. Hal itu mempunyai makna bahwa sang laki-laki bertanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga.
·      Dulangan, kedua mempelai saling menyuapi. Hal itu mengandung laku perpaduan kasih pasangan laki-laki dan perempuan, sebagai simbol seksual. Namun, ada juga yang memaknai lain, yaitu tutur adilinuwih atau seribu nasihat yang adiluhung yang dilambangkan dengan sembilan tumpeng.
c.       Upacara bubak kawak
Upacara ini khusus dilakukan untuk keluarga yang baru pertama kali menikahkan anak perempuan sulungnya.ditandai dengan membagi-bagikan harta benda berupa uang receh, beras kuning, umbi-umbian, dan lain-lain.
d.      Tumplak punjen
Numplak berarti menumpahkan, sedangkan punjen berarti berbeda beban di atas bahu. Jadi, makna dari tumplak punjen adalah lepas sudah darma orang tua kepada anaknya. Tata cara ini dilakukan pada keluarga yang tidak akan bermenantu lagi atau semua anaknya sudah menikah.
e.       Sungkeman
Sungkeman dilakukan sebagai ungkapan bakti kepada orang tua sekaligusx meminta doa restu.
f.       Kirab
Kirab adalah istilah yang digunakan untuk pengantin yang meninggalkan tempat duduknya untuk berganti busana.
                   Kebudayaan Jawa adalah salah satu warisan dari nenek moyang kita, yang memiliki nilai-nilai keluhuran dan kearifan budaya. Dalam setiap kebudayaan terdapat tradisi yang mempunyai makna filosofi yang mendalam dan luhur. Salah satu bentuk kebudayaan tersebut adalah upacara pernikahan adat Jawa. Dalam setiap langkah yang ada pada upacara pernikahan adat Jawa mengandung makna-makna yang baik. Untuk itu kita sebagai masyarakat Jawa harus senantiasa menjaga dan melestarikan kebudayaan Jawa salah satunya dengan melaksanakan tradisi upacara pernikahan Jawa.

2.2.   SIMBOL KEBUDAYAAN PADA UPACARA MITONI ADAT JAWA

Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata 'am' (awalan am menunjukkan kata kerja) + '7' (pitu) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan.
Upacara-upacara yang dilakukan dalam masa kehamilan, yaitu siraman, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lawe/lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong endhog, pada hakekatnya ialah upacara peralihan yang dipercaya sebagai sarana untuk menghilangkan petaka, yaitu semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama. Selain itu, terdapat suatu aspek solidaritas primordial terutama adalah adat istiadat yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Mengabaikan adat istiadat akan mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan di mata kelompok sosial masyarakatnya.
Mitoni tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari.
Sedangkan tempat untuk menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup untuk menyelenggarakan upacara.
Secara teknis, penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial, dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan.
Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada upacara mitoni adalah:
  1. Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua.
  2. Upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu oleh sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman (kamar mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang.
  3. Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.
    Upacara brojolan dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa itu lalu ditidurkan di atas tempat tidur layaknya menidurkan bayi.
    Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa.
  4. Upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
    Motif kain tersebut adalah:
    1. sidomukti (melambangkan kebahagiaan),
    2. sidoluhur (melambangkan kemuliaan),
    3. truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh),
    4. parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup),
    5. semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan selma-lamanya/tidak terceraikan),
    6. udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir selalu menyenangkan),
    7. cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya).
Kain terakhir yang tercocok adalah kain dari bahan lurik bermotif lasem dengan kemben motif dringin. Upacara ini dilakukan di senthong tengah.
  1. Upacara memutus lilitan janur/lawe yang dilingkarkan di perut calon ibu. Janur/lawe dapat diganti dengan daun kelapa atau janur. Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan maksud agar kelahiran bayi lancar.
  2. Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah.
  3. Upacara minum jamu sorongan, melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti didorong (disurung).
  4. Upacara nyolong endhog, melambangkan agar kelahiran anak cepat dan lancar secepat pencuri yang lari membawa curiannya. Upacara ini dilaksanakan oleh calon ayah dengan mengambil telur dan membawanya lari dengan cepat mengelilingi kampung.
Dengan dilaksanakannya seluruh upacara tersebut di atas, upacara mitoni dianggap selesai ditandai dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan mengelilingi selamatan. Selamatan atau sesajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri atau meramaikan upacara tersebut.
Lambang atau makna yang terkandung dalam unsur upacara mitoni
Upacara-upacara mitoni, yaitu upacara yang diselenggarakan ketika kandungan dalam usia tujuh bulan, memiliki simbol-simbol atau makna atau lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut:
  • Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur yang sudah tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang tinggi, di gunung-gunung.
  • Sajen jenang abang, jenang putih, melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir.
  • Sajen berupa sega gudangan, mengandung makna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar.
  • Cengkir gading (kelapa muda yang berwarna kuning), yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir lelaki akan tampan dan mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
  • Benang lawe atau daun kelapa muda yang disebut janur yang dipotong, maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi.
  • Kain dalam tujuh motif melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
  • Sajen dhawet mempunyai makna agar kelak bayiyang sedang dikandung mudah kelahirannya.
  • Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung makna berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan, bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.
2.3.       SIMBOL PATUNG DALAM BUDAYA BATAK DAN BALI
            Salah satu unsur budaya dalam suatu masyarakat adalah kesenian. Seni atau biasa disebut keahlian masyarakat zaman dahulu memiliki ragam jenis. Kesenian itu diantaranya adalah seni musik, seni lukis, seni patung, seni pahat, dan sebagainya. Menurut Mikke Susanto (2011: 296) seni patung adalah sebuah tipe karya tiga dimensi yang bentuknya dibuat dengan metode subtraktif (mengurangi bahan seperti memotong, menatah) atau aditif (membuat model lebih dulu seperti mengecor dan mencetak). Seni patung merupakan ekspresi seseorang dalam mengungkapkan perasaannya dalam bentuk patung atau bentuk 3 dimensi.
            Dalam hal ini, penerapan teori yang dapat dianalisis adalah patung megalitik suku Batak. Patung ini merupakan artefak budaya material produk aktivitas suku Batak. Patung ini merupakan simbol citra perasaan, pikiran, dan kepercayaan bagi pendukungnya. Pada masa megalitik, suku Batak percaya bahwa patung buatan mereka berfungsi sebagai hunian roh nenek moyangnya. Masing-masing tugas dan kekuatan roh dibedakan dari jenis penempatan patung. Berbagai jenis patung yang ada dalam suku Batak antara lain, sebagai berikut:
1.      Patung kubur batu (sarkopag) simbol seorang raja
2.      Patung sombaon (yang disembah) patung yang memiliki kedudukan paling tinggi sebagai hunian nenek moyang. Patung ini ditempatkan di batas antara desa dengan hutan.
3.      Patung pangulubalang (hulubalang/panglima) sebagai simbol seorang hulubalang yang ditugasi untuk menghancurkan dan mengelabui musuh saat terjadi perang antarkampung
Patung megalitik megandung isyarat bahasa pikiran nenek moyang orang Batak. 

BAB III
PENUTUP
3.1.  SIMPULAN
Kebudayaan yang berkembang di masyarakat memiliki banyak unsur yang mendukung. Diantaranya adalah sistem upacara, sistem kesenian, dan lain-lain. Dalam sistem upacara adat tidak hanya berhenti pada bagaimana langkah upacara itu. Akan tetapi upacara-upacara itu dilaksanakan karena mamiliki simbol atau makna yang akan disampaikan kepada generasi penerus oleh para leluhur. Simbol-simbol yang disampaikan juga berperan penting dalam mengatur dan mengontrol kehidupan masyarakat untuk taat pada aturan.
Selain sistem upacara adat, yang dapat mengungkapkan simbol atau makna adalah sistem kesenian masyarakat. Anatara lain, patung, lukis, pahat, musik, tari, dan lain-lain. Mengenai simbol-simbol yang telah diungkapkan menjadi suatu pengetahuan masyarakat. Sebagai masyarakat, kita boleh percaya atau tidak. Hal ini termasuk sebagai cara bagaimana kita mengapresiasi budaya yang telah ada.
3.2.  SARAN
Sebagai masyarakat yang hidup di tengah perkembangan budaya, perlu adanya rasa menghargai apa yang sudah ada untuk menjaga kelestarian kebudayaan masyarakat Indonesia agar tidak tergeser oleh kebudayaan dari luar negeri. Seiring perkembangan zaman dan era globalisasi perlu penguatan terhadap diri sendiri sebagai masyarakat asli, sebagai generasi penerus bangsa yang bisa menghargai dan menguri-uri budaya leluhur. Karena kalau bukan kita yang menjaganya, siapa lagi?.



Daftar pustaka
Seragi, Daulat.2011.Dimensi Simbolik Patung Megalitik Bata: Kajian Menurut Konsep Estetika Susane Knauth Langer.Jurnal.Oktober 2011, 336-346.
Dewi, Saras.2011.Prahara Patung. http://sarasdewi.blog.com/2011/09/24/prahara-patung/ (diakses pada tanggal 2 Desember 2013).


0 komentar: