PENERAPAN
TEORI SIMBOLISME
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Budaya memiliki berbagai unsur yang menjadikannya utuh
dan lengkap dalam kehidupan manusia. Berbagai unsur kebudayaan dapat menunjang
keberlangsungan hidup manusia. Menurut Koentjaraningrat (1985) terdapat 7 unsur
kebudayaan, yaitu : sistem religi, sistem organisasi
masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem –
sistem ekonomi, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan kesenian.
Sistem-sistem tersebut yang mengiringi perjalanan hidup manusia dari dulu
sampai sekarang.
Sedangkan dalam ilmu pengetahuan tentang budaya kita mengenal ada 5 teori
kebudayaan, yaitu: evolusionisme, fungsionalisme, strukturalisme, simbolisme,
dan postmodernisme. Kelima teori tersebut memiliki peran masing-masing dalam
suatu kebudayaan. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang bagaimana penerapan
salah satu dari lima teori yang ada, yaitu simbolisme. Semua suku bangsa-bangsa memiliki simbol-simbol tertentu yang
tidak dapat dalam kehidupan setiap suku bangsa. Hal tersebut dilakukan
di dalam konteks hubungan sosial yang lebih luas yakni dalam kata-kata,
gerak-gerik dan tata cara “masyarakat”. Melalui bentuk bentuk simbolis,
kesejahteraan suku dipelihara. Namun pengakuan luas tentang pentingnya simbol tidak menghasilkan
penafsiran yang seragam.
Menurut Firth dalam bukunya, Symbol: Public and Private, menuliskan bahwa sebuah simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan
sosial atau untuk menggugah kepatuhan-kepatuhan sosial. Jadi, simbol dalam suatu budaya dapat mengontrol
kehidupan suatu masyarakat untuk taat pada aturan dan norma. Dalam makalah ini
akan dibahas lebih lanjut mengenai penerapan teori simbolisme dalam kehidupan
masyarakat. Dalam hal ini budaya yang masih terjadi sampai saat ini. Ada
beberapa contoh penerapan simbolisme secara nyata yang akan dipaparkan dalam
makalah ini, antara lain: upacara adat pernikahan, dan lain-lain.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana penerapan teori simbolisme dalam suatu kebudayaan?
2.
Apa makna suatu budaya yang terjadi dalam masyarakat sebagai suatu
simbol?
1.3. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini, antara lain sebagai berikut:
1.
Menjelaskan penerapan teori simbolisme dalam suatu kebudayaan
2. Menjelaskan makna simbol dari suatu budaya yang terjadi di masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. SIMBOL KEBUDAYAAN PADA UPACARA PERNIKAHAN ADAT
JAWA
Budaya Jawa merupakan salah satu kebudayaan yang
dimiliki bangsa Indonesia yang di dalam tradisinya memiliki nilai-nilai
keluhuran dan kearifan budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa. Setiap
tradisi dalam masyarakat Jawa memiliki arti dan makna filosofis yang mendalam
dan luhur karena tradisi ini sudah ada sejak zaman kuno saat kepercayaan
masyarakat Jawa masih animisme-dinamisme. Tradisi Jawa ini semakin berkembang dan
mengalami perubahan seiring masuknya agama Hindu-Budha hingga Islam ke tanah
Jawa.
Tradisi adalah kumpulan benda material dan gagasan
yang diberi makna khusus dan berasal dari masa lalu. Di dalam tradisi Jawa
tersebut khas dengan adanya sesaji yang dibuat berdasarkan kegunaan
masing-masing yang mempunyai makna dan tujuan berbeda satu sama lain. Tradisi
dalam masyarakat Jawa masih mengenal sesaji. Bahkan sampai sekarang masih ada banyak
masyarakat Jawa yang meneruskan tradisi sesaji.
Ada bermacam-macam sesaji dalam kehidupan masyarakat
Jawa sesuai dengan upacara yang diselenggarakan, salah satunya sesaji dalam
pernikahan adat Jawa. Di dalam sesaji pernikahan
sendiri ada empat jenis sesaji, yaitu: sesaji pasang tarub, sesaji siraman,
sesaji midodareni, sesaji panggih atau temu. Tradisi kuno masyarakat Jawa
memiliki tata cara lengkap dalam pernikahan, sebelum pernikahan, hari
pelaksanaan, dan sesudah pelaksanaan pernikahan. Meskipun zaman semakin
berkembang dan mengglobal, namun masih ada masyarakat Jawa mempunyai kebiasaan
untuk tetap mempertahankan tradisi dari nenek moyang. Setiap sesaji mempunyai
makna sendiri-sendiri, bahkan cara pembuatan dan penyajiannya juga
berbeda-beda. Kekayaan makna dalam sesaji ini menggambarkan roda hidup,
liku-liku dan naik turun kehidupan manusia dari lahir hingga kematian.
Jika dilihat pada pijakan hidup
masyarakat Jawa yang terdiri dari: Dhama (kewajiban), Harta (kekayaan), Kama
(asmara), dan Moksa (hilang), upacara pernikahan zaman sekarang seakan lebih
kuat berorientasi pada harta dan melupakan dharma. Masyarakat Jawa harus
melihat kembali representasi sesaji dalam pernikahan adat Jawa, karena selain
wujud lain dari doa syukur dan permohonan kelancaran, masyarakat Jawa juga
dapat ikut serta melestarikan kebudayaannya sendiri.
Sebelum upacara pernikahan
dilakukan, harus ada prosesi yang dilakukan oleh pihak laki-laki mau pun pihak
perempuan. Adapun tata cara pernikahan adat Jawa adalah sebagai berikut:
1. Tahap I (Tahap Pembicaraan)
Yaitu pembicaraan antara pihak keluarga calon pengantin
laki-laki dengan pihak keluarga calon pengantin perempuan, mulai pembicaraan
pertama sampai tingkat melamar dan menentukan hari pernikahan atau gethok dina.
2. Tahap II (Tahap Kesaksian)
Tahap ini merupakan tahap peneguhan pembicaraan yang
disaksikan oleh pihak ketiga, yaitu warga, kerabat atau para sesepuh yang ada
disekeliling tempat tinggalnya melalui acara-acara sebagai berikut:
a. Srah-srahan
Yaitu
menyerahkan seperangkat perlengkapan untuk melancarkan pelaksanaan acara sampai
dengan hajat berakhir. Ada beberapa simbol barang-barang yang mempunyai arti
dan makna khusus seperti: cincin, seperangkat busana putri, makanan
tradisional, buah-buahan, daun sirih, dan uang. Adapun makna dari simbol
barang-barang itu adalah:
1) Cincin emas
Cincin emas berbentuk bulat yang tiada putusnya. Hal itu
mempunyai makna agar cinta mereka abadi tidak terputus sepanjang hidup.
2) Seperangkat busana putrid
Barang ini mempunyai makna bahwa dimasing-masing pihak harus
pandai menyimpan rahasia terhadap orang lain.
3) Perhiasan yang terbuat dari emas, intan, dan berlian
Mengandung makna agar calon pengantin putri selalu berusaha
untuk tetap bersinar dan tidak membuat kecewa.
4) Makanan tradisional
Makanan tradisional ini terdiri dari jadah, wajik, dan
jenang. Semua makanan tersebut terbuat dari beras ketan. Wujud beras ketan
sebelum dimasak hambur, tetapi setelah dimasak akan menjadi lengket. Begitu
juga harapan yang tersirat, semoga cinta kedua calon pengantin akan selalu
lengket selama-lamanya.
5) Buah-buahan
Bermakna penuh harap agar cinta mereka menghasilkan buah
kasih yang bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat.
6) Daun sirir
Muka dan punggung daun sirih mempunyai rupa yang berbeda.
Tetapi kalau digigit akan sama rasanya. Jadi, daun sirih ini mempunyai makna
satu hati, berbulat tekad tanpa harus mengorbankan perbedaan.
b. Peningset
Peningset
adalah lambang kuatnya pembicaraan untuk mewujudkan dua kesatuan yang ditandai
dengan tukar cincin antara kedua calon pengantin.
c. Asok tukon
Yaitu
penyerahan dana berupa sejumlah uang untuk membantu meringankan keuangan kepada
keluarga calon pengantin perempuan.
d. Gethok dina
Menetapkan
kepastian untuk pelaksanaan ijab qobul dan acara resepsi. Untuk mencari hari,
tanggal, dan bulan biasanya dimantakan saran oleh orang yang ahli dalam
perhitungan Jawa.
3. Tahap III (Tahap Siaga)
Pada tahap ini, yang punya hajat akan mengundang para sesepuh
ataupun sanak saudara untuk membentuk panitia guna melaksanakan kegiatan
acara-acara sebelum pernikahan, acara pernikahan, dan sesudah acara pernikahan.
Ada beberapa acara dalam tahap siaga ini, yaitu:
a. Sedhahan
Yaitu
acara mulai merakit hingga membagi undangan.
b. Kumbakarna
Kumbakarna
adalah pertemuaan membentuk panitia hajatan mantu, dengan cara:
i.
Pemberitahuan
dan permohonan bantuan kepada sanak saudara, keluarga, dan tetangga.
ii. Adanya rincian program kerja untuk panitia dan para
pelaksana.
iii. Mencukupi segala
iv. Pemberitahuan tentang pelaksanaan hajatanserta telah
selesainya pembuatan undangan.
c.
Jenggolan
atau jonggolan
Yaitu calon pengantin laki-laki melapor ke KUA. Tata cara ini
sering disebut tandhakan atau tandhan. Artinya memberitahukan dan melapor
kepada pencatatan sipil bahwa akan ada acara hajatan pernikahan yang
dilanjutkan dengan pembekalan pernikahan.
4.
Tahap
IV (Tahap Rangkaian Upacara)
Sebelum pada
acara pernikahan biasanya ada beberapa tata cara yang dilakukan oleh masyarakat
Jawa pada umumnya, yaitu:
a.
Pasang
bleketepe dan tarub
Biasanya sehari
sebelum acara pernikahan, pintu gerbang di rumah calon pengantin perempuan
dipasangi tarub dan bleketepe. Dan dibuat gapura yang dihiasi dengan tanaman
dan dedaunan yang mempunyai makna simbolis.
Di kiri dan kanan
gapura dipasangi pohon pisang yang telang berbuah dan sudah matang. Hal itu
mempunyai makna bahwa suami akan menjadi kepala keluarga ditengah kehidupan
masyarakat. Seperti pohon pisang yang bisa tumbuh baik dimanapun dan rukun
dengan lingkungannya. Sepasang tebu wulung, pohon tebu yang berwarna kemerahan
merupakan simbol mantapnya kalbu, pasangan ini akan membina dengan sepenuh hati
keluarga mereka kelak. Cengkir gadhing, buah kelapa kecil yang berwarna kuning
ini mempunyai makna kencangnya atau kuatnya pikiran baik, sehingga pasangan ini
sungguh-sungguh terikat dalam kehidupan bersama yang saling mencintai.
Berbagai macam
dedaunan yang digunakan untuk menghiasi tarub adalah beringin, mojokoro,
alang-alang, dadap srep. Itu semua merupakan harapan agar pasangan ini nantinya
hidup dan tumbuh dalam keluarga yang selalu selamat dan sejahtera.
Selain pemasangan
hiasan berupa tumbuhan dan dedaunan pada gapura tarub, anyaman daun kelapa yang
biasa disebut bleketepe digantungkan pada gapura tarub. Hal ini memunyai makna
untuk mengusir segala gangguan dan roh jahat serta menjadi pertanda bahwa di
rumah ini ada acara perkawinan.
Ada beberapa
sesaji khusus sebelum pemasangan tarub dan bleketepe. Sesaji tersebut terdiri
dari: nasi tumperng, bermacam-macam buah-buahan termasuk pisang dan kelapa,
berbagai macam lauk pauk, kue, minuman, bunga, jamu, daging kerbau, gula kelapa
dan sebuah lentera. Sesaji tersebut mempunyai makna agar mendapat berkah dari
Tuhan dan restu dari para leluhur serta untuk menolak godaan dari para makhluk
jahat. Sesaji biasanya diletakkan di tempa-tempat tertentu seperti: dapur, kamar
mandi, pintu depan rumah, bawah tarub, jalan dekat rumah, dan lain-lain.
b.
Kembar
mayang
Kembar
mayang juga sering disebut dengan Kalpataru Dewandaru, sebagai lambang
kebahagiaan dan keselamatan. Benda ini biasa dipasang di panti atau asasana
wiwara yang digunakan dalam acara panebusing kembar mayang dan upacara panggih.
Apabila acara sudah selesai, kembar mayang akan dibuang di perempatan jalan,
sungai, atau laut agar kedua mempelai selalu ingat asal muasalnya.
c.
Pasang
tuwuhan atau pasren
Tuwuhan
atau tumbuh-tumbuhan dipasang di tempat duduk pengantin atau tempat pernikahan.
Tuwuhan ini melambangkan isi alam semesta dan memiliki makna tersendiri dalam
budaya Jawa.
Sebelum
dimulainya acara pernikahan ada beberapa rangkaian upacara, yaitu sebagai
berikut:
1) Upacara
siraman
Upacara
siraman mengandung arti memandikan calon pengantin yang disertai dengan niat
membersihkan diri agar menjadi bersih dan suci lahir serta batinnya. Calon
pengantin perempuan dimandikan di rumah orang tuanya, dan calon pengantin laki-laki
juga dimandikan di rumah orang tuanya. Ada beberapa sesaji yang diperlukan
dalam upacara siraman ini, yaitu: ayam panggang bumbu ketumbar dan bawang, dua
buah kelapa yang baru tumbuh, tumpeng robyong, dan jajanan pasar.
Ada beberapa langkah dalam pelaksanaan upacara siraman,
yaitu:
a.
Persiapan
tempat untuk upacara siraman
b.
Daftar
orang yang ikut memandikan. Selain kedua orang tuanya, ada orang lain yang juga
ikut memandikan. Biasanya adalah orang yang sudah sepuh, mempunyai anak cucu,
dan reputasi kehidupan yang baik.
c.
Menyiapkan
barang yang diperlukan dalam upacara
d.
Sesaji
untuk upacara siraman, salah satunya seekor ayam jago
e.
Pihak
keluarga pengantin perempuan mengantarkan sebaskom air kepada pihak keluarga
pengantin laki-laki. Air itu disebut sebai air suci perwitosari, yang artinya
sari kehidupan. Air tersebut dicampur dengan berbagai macam bunga dan ditaruh
di wadah yang bagus. Air suci perwitosari ini sebagai campuran untuk memandikan
calon pengantin laki-laki.
f.
Pihak
terakhir yang memandikan calon pengantin adalah pamaes, yang menyirami calon
pengantin dengan air dari sebuah kendi. Ketika air dalam kendi itu sudah habis,
maka sesepuh yang telah ditunjuk akan memecahkan kendinya dan berkata “wis
pecah pamore”. Artinya calon pengantin yang cantik atau gagah sudah siap untuk
menikah.
2) Adol
dhawet
Setelah
selesai upacara siraman, maka segera dilakukan penjualan dawet. Yang menjadi
penjual adalah ibu dari calon pengantin peermpuan yang dipayungi oleh ayah
calon pengantin perempuan. Kemudian yang menjadi pembeli adalah para tamu yang
hadir, dengan menggunakan pecahan genting sebagai uangnya.
3) Paes
Paes adalah
upacara menghilangkan rambut halus di sekitar dahi agar tampak bersih dan
wajahnya bercahaya, kemudian merias calon pengantin. Paes ini menyimbolkan harapan
kedudukan yang luhur diapit lambing bapak ibu serta keturunan. Dalam upacara
paes juga ada sesajinya, yaitu sama dengan sesaji pada upacara siraman.
4) Upacara
midodareni
Upacara ini
berarti menjadikan calon pengantin perempuan secantik Dewi Widodari. Dalam
upacara ini, orang tua pengantin perempuan akan memberi anaknya makan untuk
terakhir kalinya, karena mulai besok dia akan menjadi tanggungjawab suaminya.
Ada sesaji khusus dalam upacara midodareni, yaitu pisang raja yang bagus
berjumlah genap satu tangkep, seikat daun sirih yang bagus, jajanan pasxar
lengkap, bunga setaman atau kembang telon, nasi gurih, ingkung ayam jantan
lengkap dengan jeroannya, sambel goreng, lalapan (timun dan kemangi). Khusus
intuk pengantin perempuan dibuat pindang antep, yaitu jeroan ayam dibumbu
pindang dan dimakan dengan nasi gurih setelah pukul 12 malam.
5) Nyanti atau nyantrik
Nyantrik
adalah pacara penyerahan dan penerimaan yang ditandai dengan datangnya calon
pengantin laki-laki beserta pengiringnya. Jika acara ijab dilakukan besok, maka
acara ini dimanfaatkan untuk bertemu dan berkenalan dengan sanak saudara
terdekatdi tempat mempelai laki-laki. Apabila ada kakak perempuan yang
dilangkahi, maka acara penting lainnya adalah pemberian restu dan hadiah sesuai
dengan kemampuan mempelai sebagai plangkahan.
5.
Tahap
V (Tahap puncak dari rangkaian acara dan merupakan inti acara)
a.
Upacara
ijab
Sebagai prosesi pertama pada acara iniadalah pelaksanaan ijab
yang melibatkan pihak penghulu dari KUA. Setelah acara ini berjalan dengan lancar
dan dianggap sah, maka kedua mempelai resmi menjadi suami istri.
b.
Upacara
panggil
Setelah upacara ijab selasai, kemudian dilanjutkan dengan
upacara panggih yang meliputi:
·
Liron
kembar mayang atau saling menukar kembar mayang dengan makna dan tujuan bersatu
cipta, rasa, dan karsa demi kebahagiaan dan keselamatan.
·
Gantal
atau lempar sirih, mempunyai makna agar semua godaan hilang karena lemparan
itu.
·
Ngidak
endhog atau pengantin laki-laki menginjak telur ayam kemudian dibersihkan atau
dicuci kakinya oleh pengantin perempuan, hal itu mempunyai makna bahawa seksual
kedua mempelai sudah pecah pamornya.
·
Minum
air kelapa yang menjadi lambang air suci, air hidup, air mani dan dilanjutkan
dengan dikepyok bunga warna warni dengan harapan keluarga mereka dapat berkembang
segala-galanya dan bahagia lahir batin.
·
Sindur,
yaitu menyampirkan kain (sindur) ke pundak pengantin dan menuntun pasangan
pengantin ke kursi pelaminan dengan harapan keduanya pantang menyerah dan siap
menghadapi tantangan hidup.
·
Setelah
upacara panggih, kedua mempelai diantar duduk ke sasana rinengga. Kemudian
acarapun dilanjutkan.
·
Timbangan
yaitu kedua mempelai duduk di pangkuan ayah pengantin perempuan sebagai simboh
bahwa sang ayah mengukur keseimbangan masing-masing pengantin.
·
Kacar
kucur, dijalankan dengan cara pengantin laki-laki mengucurkan penghasilan
kepada pengantin perempuan berupa uang receh beserta kelengkapannya. Hal itu
mempunyai makna bahwa sang laki-laki bertanggung jawab memberi nafkah kepada
keluarga.
·
Dulangan,
kedua mempelai saling menyuapi. Hal itu mengandung laku perpaduan kasih
pasangan laki-laki dan perempuan, sebagai simbol seksual. Namun, ada juga yang
memaknai lain, yaitu tutur adilinuwih atau seribu nasihat yang adiluhung yang
dilambangkan dengan sembilan tumpeng.
c.
Upacara
bubak kawak
Upacara ini khusus dilakukan untuk keluarga yang baru pertama
kali menikahkan anak perempuan sulungnya.ditandai dengan membagi-bagikan harta
benda berupa uang receh, beras kuning, umbi-umbian, dan lain-lain.
d.
Tumplak
punjen
Numplak berarti menumpahkan, sedangkan punjen berarti berbeda
beban di atas bahu. Jadi, makna dari tumplak punjen adalah lepas sudah darma
orang tua kepada anaknya. Tata cara ini dilakukan pada keluarga yang tidak akan
bermenantu lagi atau semua anaknya sudah menikah.
e.
Sungkeman
Sungkeman dilakukan sebagai ungkapan bakti kepada orang tua
sekaligusx meminta doa restu.
f.
Kirab
Kirab adalah istilah yang digunakan untuk pengantin yang
meninggalkan tempat duduknya untuk berganti busana.
Kebudayaan
Jawa adalah salah satu warisan dari nenek moyang kita, yang memiliki
nilai-nilai keluhuran dan kearifan budaya. Dalam setiap kebudayaan terdapat
tradisi yang mempunyai makna filosofi yang mendalam dan luhur. Salah satu
bentuk kebudayaan tersebut adalah upacara pernikahan adat Jawa. Dalam setiap
langkah yang ada pada upacara pernikahan adat Jawa mengandung makna-makna yang
baik. Untuk itu kita sebagai masyarakat Jawa harus senantiasa menjaga dan
melestarikan kebudayaan Jawa salah satunya dengan melaksanakan tradisi upacara
pernikahan Jawa.
2.2. SIMBOL KEBUDAYAAN PADA UPACARA MITONI ADAT JAWA
Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan
rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh
sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata 'am' (awalan am
menunjukkan kata kerja) + '7' (pitu) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan
pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau
suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang
perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung
senantiasa memperoleh keselamatan.
Upacara-upacara yang dilakukan dalam
masa kehamilan, yaitu siraman, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain
calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus
lawe/lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan,
dan nyolong endhog, pada hakekatnya ialah upacara peralihan yang
dipercaya sebagai sarana untuk menghilangkan petaka, yaitu semacam inisiasi
yang menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur
kepercayaan lama. Selain itu, terdapat suatu aspek solidaritas primordial
terutama adalah adat istiadat yang secara turun temurun dilestarikan oleh
kelompok sosialnya. Mengabaikan adat istiadat akan mengakibatkan celaan dan
nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan di mata kelompok sosial
masyarakatnya.
Mitoni tidak dapat diselenggarakan
sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan
upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang
sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan diselenggarakan pada
waktu siang atau sore hari.
Sedangkan tempat untuk
menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa
disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum
petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan
masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya
diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup
untuk menyelenggarakan upacara.
Secara teknis, penyelenggaraan
upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai
yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial, dalam arti
mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan.
Serangkaian
upacara yang diselenggarakan pada upacara mitoni adalah:
- Siraman atau mandi merupakan
simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik
maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon
ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak
mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Upacara
siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh dukun atau anggota
keluarga yang dianggap sebagai yang tertua.
- Upacara memasukkan telor ayam
kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu oleh sang suami melalui perut
dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini
dilaksanakan di tempat siraman (kamar mandi) sebagai simbol harapan agar
bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang.
- Upacara brojolan atau
memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan
Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon
ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir
dengan mudah tanpa kesulitan.
Upacara brojolan dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa itu lalu ditidurkan di atas tempat tidur layaknya menidurkan bayi.
Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa. - Upacara ganti busana dilakukan
dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang berbeda.
Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan
harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat
dalam lambang kain.
Motif kain tersebut adalah: - sidomukti (melambangkan kebahagiaan),
- sidoluhur (melambangkan kemuliaan),
- truntum (melambangkan agar
nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh),
- parangkusuma (melambangkan perjuangan
untuk tetap hidup),
- semen rama (melambangkan agar cinta
kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan
selma-lamanya/tidak terceraikan),
- udan riris (melambangkan harapan agar
kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir selalu menyenangkan),
- cakar ayam (melambangkan agar anak yang
akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya).
Kain terakhir yang tercocok adalah kain dari bahan lurik
bermotif lasem dengan kemben motif dringin. Upacara ini dilakukan di senthong
tengah.
- Upacara memutus lilitan
janur/lawe yang dilingkarkan di perut calon ibu. Janur/lawe dapat diganti
dengan daun kelapa atau janur. Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah
dengan maksud agar kelahiran bayi lancar.
- Upacara memecahkan periuk dan
gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi
sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih
mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah.
- Upacara minum jamu sorongan,
melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti
didorong (disurung).
- Upacara nyolong endhog,
melambangkan agar kelahiran anak cepat dan lancar secepat pencuri yang
lari membawa curiannya. Upacara ini dilaksanakan oleh calon ayah dengan
mengambil telur dan membawanya lari dengan cepat mengelilingi kampung.
Dengan
dilaksanakannya seluruh upacara tersebut di atas, upacara mitoni dianggap
selesai ditandai dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan mengelilingi
selamatan. Selamatan atau sesajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri
atau meramaikan upacara tersebut.
Lambang
atau makna yang terkandung dalam unsur upacara mitoni
Upacara-upacara
mitoni, yaitu upacara yang diselenggarakan ketika kandungan dalam usia tujuh
bulan, memiliki simbol-simbol atau makna atau lambang yang dapat ditafsirkan
sebagai berikut:
- Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan
(memule) pada arwah leluhur yang sudah tiada. Para leluhur setelah
tiada bertempat tinggal di tempat yang tinggi, di gunung-gunung.
- Sajen jenang abang, jenang
putih, melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi
yang akan lahir.
- Sajen berupa sega gudangan,
mengandung makna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar.
- Cengkir gading (kelapa muda
yang berwarna kuning), yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi Ratih,
mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir lelaki akan tampan dan mempunyai
sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik dan
mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
- Benang lawe atau daun kelapa
muda yang disebut janur yang dipotong, maknanya adalah mematahkan segala
bencana yang menghadang kelahiran bayi.
- Kain dalam tujuh motif
melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan
dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
- Sajen dhawet mempunyai makna
agar kelak bayiyang sedang dikandung mudah kelahirannya.
- Sajen berupa telur yang nantinya
dipecah mengandung makna berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi
yang lahir perempuan, bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya
adalah laki-laki.
2.3. SIMBOL PATUNG DALAM BUDAYA BATAK DAN
BALI
Salah satu unsur budaya dalam suatu
masyarakat adalah kesenian. Seni atau biasa disebut keahlian masyarakat zaman
dahulu memiliki ragam jenis. Kesenian itu diantaranya adalah seni musik, seni
lukis, seni patung, seni pahat, dan sebagainya. Menurut Mikke Susanto (2011: 296) seni patung adalah
sebuah tipe karya tiga dimensi yang bentuknya dibuat dengan metode subtraktif
(mengurangi bahan seperti memotong, menatah) atau aditif (membuat
model lebih dulu seperti mengecor dan mencetak). Seni patung
merupakan ekspresi seseorang dalam mengungkapkan perasaannya dalam bentuk
patung atau bentuk 3 dimensi.
Dalam hal ini, penerapan teori yang
dapat dianalisis adalah patung megalitik suku Batak. Patung ini merupakan
artefak budaya material produk aktivitas suku Batak. Patung ini merupakan
simbol citra perasaan, pikiran, dan kepercayaan bagi pendukungnya. Pada masa
megalitik, suku Batak percaya bahwa patung buatan mereka berfungsi sebagai
hunian roh nenek moyangnya. Masing-masing tugas dan kekuatan roh dibedakan dari
jenis penempatan patung. Berbagai jenis patung yang ada dalam suku Batak antara
lain, sebagai berikut:
1.
Patung
kubur batu (sarkopag) simbol seorang raja
2.
Patung
sombaon (yang disembah) patung yang memiliki kedudukan paling tinggi sebagai
hunian nenek moyang. Patung ini ditempatkan di batas antara desa dengan hutan.
3.
Patung
pangulubalang (hulubalang/panglima) sebagai simbol seorang hulubalang yang
ditugasi untuk menghancurkan dan mengelabui musuh saat terjadi perang
antarkampung
Patung megalitik megandung isyarat bahasa pikiran nenek moyang orang
Batak.
BAB III
PENUTUP
3.1. SIMPULAN
Kebudayaan yang
berkembang di masyarakat memiliki banyak unsur yang mendukung. Diantaranya
adalah sistem upacara, sistem kesenian, dan lain-lain. Dalam sistem upacara
adat tidak hanya berhenti pada bagaimana langkah upacara itu. Akan tetapi
upacara-upacara itu dilaksanakan karena mamiliki simbol atau makna yang akan
disampaikan kepada generasi penerus oleh para leluhur. Simbol-simbol yang
disampaikan juga berperan penting dalam mengatur dan mengontrol kehidupan
masyarakat untuk taat pada aturan.
Selain sistem
upacara adat, yang dapat mengungkapkan simbol atau makna adalah sistem kesenian
masyarakat. Anatara lain, patung, lukis, pahat, musik, tari, dan lain-lain.
Mengenai simbol-simbol yang telah diungkapkan menjadi suatu pengetahuan
masyarakat. Sebagai masyarakat, kita boleh percaya atau tidak. Hal ini termasuk
sebagai cara bagaimana kita mengapresiasi budaya yang telah ada.
3.2. SARAN
Sebagai masyarakat
yang hidup di tengah perkembangan budaya, perlu adanya rasa menghargai apa yang
sudah ada untuk menjaga kelestarian kebudayaan masyarakat Indonesia agar tidak
tergeser oleh kebudayaan dari luar negeri. Seiring perkembangan zaman dan era
globalisasi perlu penguatan terhadap diri sendiri sebagai masyarakat asli,
sebagai generasi penerus bangsa yang bisa menghargai dan menguri-uri budaya leluhur. Karena kalau
bukan kita yang menjaganya, siapa lagi?.
Daftar pustaka
Seragi, Daulat.2011.Dimensi Simbolik Patung Megalitik Bata:
Kajian Menurut Konsep Estetika Susane Knauth Langer.Jurnal.Oktober 2011,
336-346.
Dewi,
Saras.2011.Prahara Patung.
http://sarasdewi.blog.com/2011/09/24/prahara-patung/
(diakses pada tanggal 2 Desember 2013).
0 komentar:
Posting Komentar