Kamis, 14 Januari 2016

FENOMENA FEMINISME DALAM BUDAYA POSMODERNISME

WANITA KARIER: FENOMENA FEMINISME DALAM BUDAYA POSMODERNISME

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Fenomena postmodern mencakup banyak dimensi dari masyarakat kontemporer.Para ahli saling berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernism. Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang universal. Etos postmodern menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten.Mereka menggantikan semua ini dengan sikap hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus (partikular dan lokal) serta membuang yang universal.Postmodernisme menolak penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik.Pada dasarnya, postmodernisme adalah anti-modern.
Tetapi kata "postmodern" mencakup lebih dari sekedar suasana intelektual.Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud dalam banyak dimensi dari masyarakat kini.Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir postmodern terwujud dalam banyak aspek kebudayaan, termasuk arsitektur, seni, dan drama.Postmodernisme telah merasuk ke dalam seluruh masyarakat.Kita dapat mencium pergeseran dari modern kepada postmodern dalam budaya pop, mulai dari video musik sampai kepada serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal seperti spiritualitas dan cara berpakaian juga terpengaruh.
Salah satu bagian yang menjadi wujud dari postmodernisme adalah konsep feminisme yang berkembang dan menjadi budaya baru dalam dunia modern saat ini.Tidak dapat dipungkiri wanita mulai mendobrak budaya-budaya lama yang cenderung membatasi ruang gerak wanita untuk berkarya dan mengolah diri.Selain itu konsep lama mengharuskan wanita berada di belakang laki-laki.Maksudnya wanita hanya boleh menjadi ibu rumah tangga saja dan hanya sebagai pendukung keberhasilan suami.
Seharusnya perempuan diajarkan segala kompetensi yang juga dipelajari oleh laki-laki untuk bisa menjadi teman diskusi yang baik untuk laki-laki.Namun hal tersebut tetap harus memperhatikan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1    Bagaimana konsep feminisme?
1.2.2    Bagaimana bentuk feminisme posmodernisme?
1.2.3    Bagimana wujud  wanitakarier dalamfenomena feminisme postmodern?

1.3  Tujuan
1.3.1    Mengetahui konsep feminism.
1.3.2    Mengetahui bentuk feminisme posmodernisme.
1.3.3    Mengetahuiwujud  wanitakarier dalamfenomena feminisme postmodern.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Konsep Feminisme
Feminisme tak bisa dilepaskan dari upaya perempuan mencari keadilan. Banyak hal membuat gerakan itu lahir.Namun satu yang terasa, pemikiran feminisme berpangkal dari kritik terhadap konstruksi patriarki yang mendominasi dan mengopresi perempuan.Semua gerakan di lingkup wacana dan praktik itu bermuara dari perlakuan berbeda antara perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan menyuarakan keadilan melalui cara tersendiri.
Kisah superioritas laki-laki bisa dikatakan bermula dari cerita penciptaan manusia dalam Bibel yang sangat umum dikenal, yakni Adam diciptakan lebih dahulu dan Hawa diciptakan darinya.Jadi Adam adalah kreator dari Hawa, sedangkan Hawa diciptakan untuk membantu Adam.Secara sosial dan moral, Adam lebih superior karena Hawa adalah penyebab mereka dikeluarkan dari surga.
Demikian pula ketika Phytagoras, seperti dikisahkan Aristoteles, membuat tabel pengklasifikasian elemen-elemen yang berlawanan (oposisi biner).Dari tabel Phytagoras terlihat, laki-laki dan perempuan tak hanya “berbeda” tetapi juga “berlawanan”.Bahkan dari mitologi Yunani Dewa Osiris dan Dewi Isis sampai pada zaman serbamesin, laki-laki dan perempuan tak hanya dianggap berbeda, tetapi juga sebagai seks yang berlawanan. 
Laki-laki dan perempuan dipolarisasikan dalam kebudayaan sebagai “berlawanan” dan “tidak sama”. Keduanya dianggap bertentangan sehingga melahirkan ketidakadilan gender yang mendorong kemunculan gerakan feminisme.
U’um Qomariyah dalam tulisannya Paradigma Baru Feminisme di Suara Merdeka edisi 1 Juni 2011, mengungkapkan seberapa jauh ketimpangan feminisme itu, meski berhubungan, tetapi lebih mengemukakan ide feminisme yang banyak dibicarakan, ditelaah, dan dijadikan referensi dalam berbagai disiplin ilmu.Pembicaraan soal feminisme biasanya melibatkan tiga aliran utama, yakni feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme marxis.Feminisme liberal lebih memprioritaskan hak perempuan dalam berpolitik di atas hak ekonomi.Kelompok itu dikritik karena secara umum hanya menyentuh kalangan perempuan terdidik dan kelas menengah.Juga karena lebih melihat pekerjaan perempuan di luar lebih baik ketimbang di wilayah domestik (ibu rumah tangga) yang dianggap opresif.
Feminisme radikal dikritik karena dasar pemikiran yang radikal, terutama melihat laki-laki dan perempuan harus sama secara seksual (alami) dan gender. Mereka beranggapan reproduksi perempuan merepotkan, bahkan sebagai kutukan.Dalam memperjuangkan hak perempuan, seharusnya laki-laki dianggap “musuh” karena merekalah yang menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan. 
Feminisme marxis mendesak perempuan berkiprah di ranah publik dengan tetap mengindahkan tugas domestik.Namun selain kampanye upah untuk pekerjaan rumah tangga, kelompok itu dikritik dalam kaitan dengan konsepsi simplistik mengenai sifat dan fungsi pekerjaan perempuan sebagai satu-satunya alat, dan sebagai alat terbaik untuk memahami opresi terhadap perempuan.
Ketiga pemikiran feminisme itu merupakan garis besar ide feminisme yang melahirkan banyak pembicaraan yang memberikan celah untuk menemukan konsep baru dengan memberikan batasan dan garis besar sehingga melahirkan bentuk-bentuk feminisme baru. Itu antara lain, seperti diungkap Putnam Tong (2008), adalah feminisme psikoanalisis, feminisme eksistensialis, feminisme postmodern, feminisme multikultural, dan ekofeminisme.
Terlepas dari pemikiran feminisme yang bermula lahir dari Barat sehingga barangkali secara kasatmata sangat berbeda dari budaya Timur, tak ada yang salah dengan pemikiran besar feminisme.Sebab, semua berangkat dari asumsi dan sudut pandang berbeda.Ibarat melihat subjek dari bingkai berlainan, pencahayaan yang dihasilkan memantulkan fokus berbeda pula. 
Namun jadi terkait ketika dalam berbagai forum sepertinya pembicaraan mengenai feminisme, mengenai hakikat perempuan, tak bisa dilepaskan dari pemikiran-pemikiran Barat itu.Menjadi terkait ketika kita terjebak dengan hakikat feminisme yang sepertinya sudah dikotak-kotak. Lebih-lebih ketika seseorang yang beragama, seorang muslim misalnya, membincang feminisme. Barangkali jika saya bicara mengenai budaya jelas akan terbantahkan karena ide-ide feminisme lahir dari ketimpangan gender yang berpangkal juga dari konstruksi budaya.
Paradigma yang dibangun oleh berbagai tokoh Feminis tidak akan lepas dari kritikan. Para tokoh feminisme cenderung melihat dengan sebelah mata terhadap teori-teori yang mereka bangun. keberadaan feminisme Marxis, feminisme sosial, feminisme liberal maupun feminisme radikal tidak luput dari berbagai masalah.
Membahas feminisme tentunya tidak akan bisa lepas dari bahasan tentang patriarkisme. Hampir semua teks feminisme dirumuskan untuk mencanggihkan konseptualisasi patriarkisme sebagai payung bagi praksis penindasan perempuan, tema ini juga mewakili semua derivasi teoritik feminisme berkaitan dengan strategi liberasi atas ketertindasan perempuan.
Tokoh feminis Juliet Michel (1974), yang mendefinisikan patriarkisme sebagai interpretasi antara pola produksi masyarakat dengan semua rumusan bio-sosial perempuan yang diambil dari idiologi laki-laki. Michel mempercayai bahwa perempuan dikendalikan oleh tiga unnsur utama. Pertama adalah ekonomi, yaitu unsur yang bersumber dari pola produksi masyarakat. Kedua adalah bio-sosial, yakni unsur yang bersumber pada rumusan-rumusan sosial tentang hubungan laki-laki dan perempuan secara biologis. Ketiga adalah unsur idiologis yakni yang bersumber pada rumusan-rumusan sosial tentang bagaimana laki-laki dan perempuan harus berhubungan dalam struktur sosial.
Ketertindasan perempuan hanya bisa dilakukan dengan cara mengubah satu unsur saja. Apabila unsur bio-sosial dan idiologi tidak ada transformasi, maka ketertindasan perempuan tetap akan bergeming dimuka bumi ini. Inilah yang menjelaskan mengapa dalam struktur masyarakat sosialis perempuan tetap tertindas sebagaimana pada struktur masyarakat kapitalis.
Analisis tentang ketertindasan perempuan menghasilkan resolusi yang berbeda, sehingga membuat analisis para feminisme menjadi jamak dan kompleks. Analisis yang jamak dan kompleks ini tentunya tidak menyisakan ruang yang lebar untuk menemukan kesepakan epistemologis dalam menyusun kesadaran resolusi. Justru dengan kecanggihan teori yang dibangun, teori feminisme menuju fungsi idiologis. Perjuangan idiologis yang mereka tanamkan berubah menjadi spirit perlawanan terhadap apa saja yang mereka identifikasi sebagai dominasi laki-laki.
Jill Jhonston dan Charrolate Bunch (1970), yang mendefinisikan ketertindasan perempuan pada semua definisi dan rumusan seks yang direproduksi melalui institusi heteroseksual. Menurut mereka ketertindasan perempuan hanya dapat dihindari hanya dengan menolak seluruh institusi heteroseksual dan segala definisinya. Bunch memberikan tawaran dengan cara lesbianisme. (hal 74)
Dengan lesbian menurut Bunch tidak akan ada penindasan. Padahal dalam lesbianisme juga masih terbawa sifat male and gaze. Dengan demikian maka resolusi yang ditawarkan Bunch tidak berhasil mengatasi ketertindasan perempuan.

2.2    Feminisme Postmodern
Feminisme Postmodernisme ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena pertentangan dalam pengetahuan ilmiah dan sejarah. Gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
Feminisme posmodern (postmodern feminism) adalah sebuah pendekatan terhadap teori feminis yang memadukan teori posmodern dan postrukturalisme.para tokoh feminisme ini menghindari istilah-istilah yang mengisyaratkan adanya suatu kesatuan yang membatasi perbedaan. Mereka menolak untuk mengembangkan penjelasan dan penyelesaian yang menyeluruh mengenai opresi terhadap perempuan.Meskipun hal ini menghadirkan masalah besar bagi teori feminis, namun penolakan ini juga memperkaya pluralitas dalam feminisme.
Feminis posmodern mengundang setiap perempuan yang berefleksi dalam tulisannya untuk menjadi feminis dengan cara yang diinginkannya. Tidak ada satu rumusan tertentu untuk menjadi 'feminis yang baik'.Pada dasarnya feminisme posmodern memang menentang karakterisasi.ketika seorang wanita kulit hitam tidak mendapatkan haknya sebagai wanita. Ras mereka telah terinjak pada saat itu dan laki-laki kulit hitam menginjak-injak harkat dan martabat mereka sebagai seorang perempuan.Puisi yang mudah dicerna dan memiliki arti yang dapat dihubungkan dengan realitas kehidupan wanita kulit hitam pada saat itu.

2.3    Wanita Karier sebagai Wujud Fenomena Feminisme Postmodern
Gerakan   feminisme   yang  telah  berkembang   menjadi  beberapa  bentuk dan ragam pada dasarnya bermula dari suatu  asumsi,  yaitu  ketidak-adilan, adanya  proses  penindasan,  dan eksploitasi.  Walaupun  pada  proses berikutnya  terjadi  perbedaan  paham mengenai   apa,  mengapa,  dan bagaimana penindasan  dan eksploitasi itu  terjadi,  namun  sesungguhnya  ada kesamaan  paham  bahwa  hakekat  perjuangan  wanita   adalah    demi  kesamaan,  egalitas,  dignitas,  dan  kebebasan untuk mengontrol kehidupan. Dengan  keyakinan  seperti  ini, dalam  rangka  mewujudkan  struktur masyarakat  yang  lebih  adil  dan makmur,  maka wanita  dan pria harus berjuang,  bergerak  bersama   dalam satu  irama  dan  gelombang  kelas menuju  pemerdekaan  dan  kemerdekaan   bagi  pria  dan  wanita,  serta generasi  yang  tidak  memandang perbedaan  kelas  antara  manusia dengan manusia.
Gejala pemikiran   dan gerakan feminisme  tampaknya   telah menjadi "mainstream" gerakan wanita kontemporer   yang   jika dilihat dari titik tolak pemikiran yang mendasari dan sasaran kritiknya,  maka  dapat  dikatakan bahwa  ia  berada  dalam  kerangkapemikiran  "posmodernisme".  Titik tolak  pemikiran  ini   dalam  gerakan feminisme  posmodernisme  adalah adanya  realitas   budaya  dan  struktur yang mendapat legitimasi teologis  dari ajaran  agama  yang  telah  sekian  lama mengakibatkan  wanita  berada   pada posisi marginal. Teologi  sebagai  akumulasi pemahaman  terhadap  teks -teks ajaran agama   memang cukup efektif dalam menciptakan suatu budaya dan  sruktur  yang  determi-nistik. Hal ini   karena    pada posisi tertentu agama  dalam  kehidupan  manusia menempati posisi dan peranan yang imperatif.  Oleh  karenanya,  dengan kedudukan semacam ini,   maka apa yang  akan  diciptakan  atas   nama agama  dianggap  bersifat   mengikat ke dalam  kehidupan manusia. Dalam  konteks teologis, kaum wanita  berada   pada   dominasi  pemikiran  kaum   pria,  sehingga  memunculkan   corak paradigma  teologis patriarkhis.  Dalam  kehidupan  sosial, teologi   ini  telah  melahirkan  dan melegitimasi  budaya   patriarkhi, genderisme,  skisme,  dan  kebencian terhadap lawan jenis. Banyak   tokoh  wanita  sepakat bahwa  cara  pandang   dan  sikap negatif  selama  ini  terhadap  wanita yang   banyak  terjadi  dalam  masyarakat,  terutama  masyarakat  Islam, berakar   pada  teologi,  yaitu  teologi maskulin  yang  patriarkhi  dan androsentris.   Jika   tidak  dilakukan dekonstruksi  terhadap  dasar-dasar teologi   yang   demikian  ini,  maka diskriminasi  gender  akan  semakin melebar. Pada akhirnya akan memunculkan kembali tradisi jahiliyah,  yaitu jahiliyah modern.




BAB III
PENUTUP

Perdebatan  tentang  gerakan  feminisme  dan  hak-hak  perempuan  telah menjadi  agenda  utama  di  banyak negara di dunia pada saat ini. Di  Indonesia  sendiri  sampai saat  ini  persoalan  tentang  gerakan feminisme  dan  hak-hak  perempuan berada  pada  tahap  di  mana  hak-hak perempuan  tersebut  dan  keikutsertaannya  dalam  segala  aspek kehidupannya  masih  diperdepatkan dan  merupakan  suatu  proses  penyelesaian  yang  panjang  dan  sukar  diselesaikan.
Dapat dikatakan bahwa secara umum  tujuan  gerakan  feminisme adalah  untuk  menciptakan  suatu kondisi di mana baik laki-laki maupun perempuan dapat berpartisipasi secara penuh  dan  aktif  dalam  masyarakat tanpa  diskriminasi  perlakuan  dan prasangka negatif apa pun antara satu sama lain. Namun perlu digarisbawahi bahwa kesetaraan gender yang dicitacitakan  oleh  gerakan  feminisme bukanlah  mengacu  kepada  perolehan hak istimewa bagi perempuan sehingga  mengabaikan,  apalagi  merendahkan  martabat  laki-laki.  Sebaliknya, hal  ini  harus  diartikan  sebagai pendefinisian  ulang  terhadap  peran gender dan koreksi terhadap stereotip dan  ketidakseimbangan  akses  gender selama ini.
DAFTAR PUSTAKA

Mujianto, Yan, dkk. 2010. Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta: Pelangi Publishing.
Amin,  M.Mashur  dan   Masruchah  (ed).  1992.  Wanita   dalam  Percakapan  Antar Agama:Aktualisasinya   dalam   Percakapan  Pembangunan.  Yogyakarta: LKPSM NU DIY.
Danim,   Sudarwan.   1995.   Transformasi   Sumber   Daya   Manusia:  Analisis Fungsi Pendidikan, Dinamika Prilaku dan Kesejah-teraan  Indonsia Masa Depan. Jakarta: Bumi Aksara.
Kartowijono,  Sujatin.  1982.  Perkembangan   Pergerakan  Wanita  Indonesia. Jakarta: PT.Inti Indayu Press.
Katjasungka, Nusrsyahbani, et.al. 2000. “Gender” dalam  Penilaian Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: International IDEA.



0 komentar: