WANITA KARIER: FENOMENA FEMINISME DALAM BUDAYA POSMODERNISME
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Fenomena
postmodern mencakup banyak dimensi dari masyarakat kontemporer.Para ahli saling
berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernism.
Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai
berakhirnya sebuah cara pandang universal. Etos postmodern menolak penjelasan yang
harmonis, universal, dan konsisten.Mereka menggantikan semua ini dengan sikap
hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus (partikular dan
lokal) serta membuang yang universal.Postmodernisme menolak penekanan kepada
penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi intelektual dari
modernisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik.Pada dasarnya,
postmodernisme adalah anti-modern.
Tetapi
kata "postmodern" mencakup lebih dari sekedar suasana
intelektual.Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud dalam
banyak dimensi dari masyarakat kini.Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir
postmodern terwujud dalam banyak aspek kebudayaan, termasuk arsitektur, seni,
dan drama.Postmodernisme telah merasuk ke dalam seluruh masyarakat.Kita dapat
mencium pergeseran dari modern kepada postmodern dalam budaya pop, mulai dari
video musik sampai kepada serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal seperti
spiritualitas dan cara berpakaian juga terpengaruh.
Salah
satu bagian yang menjadi wujud dari postmodernisme adalah konsep feminisme yang
berkembang dan menjadi budaya baru dalam dunia modern saat ini.Tidak dapat
dipungkiri wanita mulai mendobrak budaya-budaya lama yang cenderung membatasi
ruang gerak wanita untuk berkarya dan mengolah diri.Selain itu konsep lama
mengharuskan wanita berada di belakang laki-laki.Maksudnya wanita hanya boleh
menjadi ibu rumah tangga saja dan hanya sebagai pendukung keberhasilan suami.
Seharusnya
perempuan diajarkan segala kompetensi yang juga dipelajari oleh laki-laki untuk
bisa menjadi teman diskusi yang baik untuk laki-laki.Namun hal tersebut tetap
harus memperhatikan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana konsep feminisme?
1.2.2 Bagaimana bentuk feminisme posmodernisme?
1.2.3 Bagimana
wujud wanitakarier dalamfenomena feminisme postmodern?
1.3
Tujuan
1.3.1
Mengetahui konsep feminism.
1.3.2
Mengetahui bentuk feminisme
posmodernisme.
1.3.3 Mengetahuiwujud wanitakarier dalamfenomena feminisme postmodern.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Feminisme
Feminisme
tak bisa dilepaskan dari upaya perempuan mencari keadilan. Banyak hal membuat
gerakan itu lahir.Namun satu yang terasa, pemikiran feminisme berpangkal dari
kritik terhadap konstruksi patriarki yang mendominasi dan mengopresi perempuan.Semua
gerakan di lingkup wacana dan praktik itu bermuara dari perlakuan berbeda
antara perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan menyuarakan keadilan melalui
cara tersendiri.
Kisah
superioritas laki-laki bisa dikatakan bermula dari cerita penciptaan manusia
dalam Bibel yang sangat umum dikenal, yakni Adam diciptakan lebih dahulu dan
Hawa diciptakan darinya.Jadi Adam adalah kreator dari Hawa, sedangkan Hawa
diciptakan untuk membantu Adam.Secara sosial dan moral, Adam lebih superior
karena Hawa adalah penyebab mereka dikeluarkan dari surga.
Demikian
pula ketika Phytagoras, seperti dikisahkan Aristoteles, membuat tabel
pengklasifikasian elemen-elemen yang berlawanan (oposisi biner).Dari tabel
Phytagoras terlihat, laki-laki dan perempuan tak hanya “berbeda” tetapi juga
“berlawanan”.Bahkan dari mitologi Yunani Dewa Osiris dan Dewi Isis sampai pada
zaman serbamesin, laki-laki dan perempuan tak hanya dianggap berbeda, tetapi
juga sebagai seks yang berlawanan.
Laki-laki
dan perempuan dipolarisasikan dalam kebudayaan sebagai “berlawanan” dan “tidak
sama”. Keduanya dianggap bertentangan sehingga melahirkan ketidakadilan gender
yang mendorong kemunculan gerakan feminisme.
U’um Qomariyah dalam tulisannya Paradigma Baru Feminisme
di Suara Merdeka edisi 1 Juni 2011, mengungkapkan
seberapa jauh ketimpangan feminisme itu, meski berhubungan, tetapi
lebih mengemukakan ide feminisme yang banyak dibicarakan, ditelaah, dan
dijadikan referensi dalam berbagai disiplin ilmu.Pembicaraan soal feminisme
biasanya melibatkan tiga aliran utama, yakni feminisme liberal, feminisme
radikal, dan feminisme marxis.Feminisme liberal lebih memprioritaskan hak
perempuan dalam berpolitik di atas hak ekonomi.Kelompok itu dikritik karena
secara umum hanya menyentuh kalangan perempuan terdidik dan kelas menengah.Juga
karena lebih melihat pekerjaan perempuan di luar lebih baik ketimbang di
wilayah domestik (ibu rumah tangga) yang dianggap opresif.
Feminisme
radikal dikritik karena dasar pemikiran yang radikal, terutama melihat
laki-laki dan perempuan harus sama secara seksual (alami) dan gender. Mereka
beranggapan reproduksi perempuan merepotkan, bahkan sebagai kutukan.Dalam
memperjuangkan hak perempuan, seharusnya laki-laki dianggap “musuh” karena
merekalah yang menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan.
Feminisme
marxis mendesak perempuan berkiprah di ranah publik dengan tetap mengindahkan
tugas domestik.Namun selain kampanye upah untuk pekerjaan rumah tangga,
kelompok itu dikritik dalam kaitan dengan konsepsi simplistik mengenai sifat
dan fungsi pekerjaan perempuan sebagai satu-satunya alat, dan sebagai alat
terbaik untuk memahami opresi terhadap perempuan.
Ketiga
pemikiran feminisme itu merupakan garis besar ide feminisme yang melahirkan
banyak pembicaraan yang memberikan celah untuk menemukan konsep baru dengan
memberikan batasan dan garis besar sehingga melahirkan bentuk-bentuk feminisme
baru. Itu antara lain, seperti diungkap Putnam Tong (2008), adalah feminisme
psikoanalisis, feminisme eksistensialis, feminisme postmodern, feminisme multikultural,
dan ekofeminisme.
Terlepas
dari pemikiran feminisme yang bermula lahir dari Barat sehingga barangkali
secara kasatmata sangat berbeda dari budaya Timur, tak ada yang salah dengan
pemikiran besar feminisme.Sebab, semua berangkat dari asumsi dan sudut pandang
berbeda.Ibarat melihat subjek dari bingkai berlainan, pencahayaan yang
dihasilkan memantulkan fokus berbeda pula.
Namun
jadi terkait ketika dalam berbagai forum sepertinya pembicaraan mengenai
feminisme, mengenai hakikat perempuan, tak bisa dilepaskan dari
pemikiran-pemikiran Barat itu.Menjadi terkait ketika kita terjebak dengan
hakikat feminisme yang sepertinya sudah dikotak-kotak. Lebih-lebih ketika
seseorang yang beragama, seorang muslim misalnya, membincang feminisme.
Barangkali jika saya bicara mengenai budaya jelas akan terbantahkan karena
ide-ide feminisme lahir dari ketimpangan gender yang berpangkal juga dari
konstruksi budaya.
Paradigma yang dibangun oleh berbagai tokoh Feminis tidak akan lepas dari
kritikan. Para tokoh feminisme cenderung melihat dengan sebelah mata terhadap
teori-teori yang mereka bangun. keberadaan feminisme Marxis, feminisme sosial,
feminisme liberal maupun feminisme radikal tidak luput dari berbagai masalah.
Membahas feminisme tentunya tidak akan bisa lepas dari bahasan tentang
patriarkisme. Hampir semua teks feminisme dirumuskan untuk mencanggihkan
konseptualisasi patriarkisme sebagai payung bagi praksis penindasan perempuan,
tema ini juga mewakili semua derivasi teoritik feminisme berkaitan dengan
strategi liberasi atas ketertindasan perempuan.
Tokoh feminis Juliet Michel (1974), yang mendefinisikan patriarkisme
sebagai interpretasi antara pola produksi masyarakat dengan semua rumusan
bio-sosial perempuan yang diambil dari idiologi laki-laki. Michel mempercayai bahwa
perempuan dikendalikan oleh tiga unnsur utama. Pertama adalah ekonomi, yaitu
unsur yang bersumber dari pola produksi masyarakat. Kedua adalah bio-sosial,
yakni unsur yang bersumber pada rumusan-rumusan sosial tentang hubungan
laki-laki dan perempuan secara biologis. Ketiga adalah unsur idiologis yakni
yang bersumber pada rumusan-rumusan sosial tentang bagaimana laki-laki dan
perempuan harus berhubungan dalam struktur sosial.
Ketertindasan perempuan hanya bisa dilakukan dengan cara mengubah satu
unsur saja. Apabila unsur bio-sosial dan idiologi tidak ada transformasi, maka
ketertindasan perempuan tetap akan bergeming dimuka bumi ini. Inilah yang
menjelaskan mengapa dalam struktur masyarakat sosialis perempuan tetap
tertindas sebagaimana pada struktur masyarakat kapitalis.
Analisis tentang ketertindasan perempuan menghasilkan resolusi yang
berbeda, sehingga membuat analisis para feminisme menjadi jamak dan kompleks.
Analisis yang jamak dan kompleks ini tentunya tidak menyisakan ruang yang lebar
untuk menemukan kesepakan epistemologis dalam menyusun kesadaran resolusi.
Justru dengan kecanggihan teori yang dibangun, teori feminisme menuju fungsi
idiologis. Perjuangan idiologis yang mereka tanamkan berubah menjadi spirit
perlawanan terhadap apa saja yang mereka identifikasi sebagai dominasi
laki-laki.
Jill Jhonston dan Charrolate Bunch (1970), yang mendefinisikan
ketertindasan perempuan pada semua definisi dan rumusan seks yang direproduksi
melalui institusi heteroseksual. Menurut mereka ketertindasan perempuan hanya
dapat dihindari hanya dengan menolak seluruh institusi heteroseksual dan segala
definisinya. Bunch memberikan tawaran dengan cara lesbianisme. (hal 74)
Dengan lesbian menurut Bunch tidak akan ada penindasan. Padahal dalam
lesbianisme juga masih terbawa sifat male and gaze. Dengan demikian maka
resolusi yang ditawarkan Bunch tidak berhasil mengatasi ketertindasan
perempuan.
2.2
Feminisme
Postmodern
Feminisme Postmodernisme ialah ide
yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara
berbeda-beda tiap fenomena sosial karena pertentangan
dalam pengetahuan ilmiah dan sejarah. Gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
Feminisme posmodern
(postmodern feminism) adalah sebuah pendekatan terhadap teori feminis yang
memadukan teori posmodern dan postrukturalisme.para tokoh feminisme ini
menghindari istilah-istilah yang mengisyaratkan adanya suatu kesatuan yang
membatasi perbedaan. Mereka menolak untuk mengembangkan penjelasan dan
penyelesaian yang menyeluruh mengenai opresi terhadap perempuan.Meskipun hal
ini menghadirkan masalah besar bagi teori feminis, namun penolakan ini juga
memperkaya pluralitas dalam feminisme.
Feminis posmodern
mengundang setiap perempuan yang berefleksi dalam tulisannya untuk menjadi
feminis dengan cara yang diinginkannya. Tidak ada satu rumusan tertentu untuk
menjadi 'feminis yang baik'.Pada dasarnya feminisme posmodern memang menentang
karakterisasi.ketika seorang wanita kulit hitam tidak mendapatkan haknya
sebagai wanita. Ras mereka telah terinjak pada saat itu dan laki-laki kulit
hitam menginjak-injak harkat dan martabat mereka sebagai seorang
perempuan.Puisi yang mudah dicerna dan memiliki arti yang dapat dihubungkan
dengan realitas kehidupan wanita kulit hitam pada saat itu.
2.3
Wanita Karier sebagai Wujud Fenomena Feminisme Postmodern
Gerakan feminisme
yang telah berkembang
menjadi beberapa bentuk dan ragam pada dasarnya bermula dari
suatu asumsi, yaitu
ketidak-adilan, adanya
proses penindasan, dan eksploitasi. Walaupun
pada proses berikutnya terjadi
perbedaan paham mengenai apa,
mengapa, dan bagaimana
penindasan dan eksploitasi itu terjadi,
namun sesungguhnya ada kesamaan
paham bahwa hakekat
perjuangan wanita adalah
demi kesamaan, egalitas,
dignitas, dan kebebasan untuk mengontrol kehidupan.
Dengan keyakinan seperti
ini, dalam rangka mewujudkan
struktur masyarakat yang lebih
adil dan makmur, maka wanita
dan pria harus berjuang,
bergerak bersama dalam satu
irama dan gelombang
kelas menuju pemerdekaan dan
kemerdekaan bagi pria
dan wanita, serta generasi yang
tidak memandang perbedaan kelas
antara manusia dengan manusia.
Gejala
pemikiran dan gerakan feminisme tampaknya
telah menjadi "mainstream" gerakan wanita kontemporer yang
jika dilihat dari titik tolak pemikiran yang mendasari dan sasaran
kritiknya, maka dapat
dikatakan bahwa ia berada
dalam kerangkapemikiran "posmodernisme". Titik tolak
pemikiran ini dalam
gerakan feminisme posmodernisme adalah adanya
realitas budaya dan
struktur yang mendapat legitimasi teologis dari ajaran
agama yang telah
sekian lama mengakibatkan wanita
berada pada posisi marginal.
Teologi sebagai akumulasi pemahaman terhadap
teks -teks ajaran agama memang
cukup efektif dalam menciptakan suatu budaya dan sruktur
yang determi-nistik. Hal ini karena
pada posisi tertentu agama
dalam kehidupan manusia menempati posisi dan peranan yang
imperatif. Oleh karenanya,
dengan kedudukan semacam ini, maka apa yang akan
diciptakan atas nama agama
dianggap bersifat mengikat ke dalam kehidupan manusia. Dalam konteks teologis, kaum wanita berada
pada dominasi pemikiran
kaum pria, sehingga
memunculkan corak paradigma teologis patriarkhis. Dalam
kehidupan sosial, teologi ini
telah melahirkan dan melegitimasi budaya
patriarkhi, genderisme,
skisme, dan kebencian terhadap lawan jenis. Banyak tokoh
wanita sepakat bahwa cara
pandang dan sikap negatif
selama ini terhadap
wanita yang banyak terjadi
dalam masyarakat, terutama
masyarakat Islam, berakar pada
teologi, yaitu teologi maskulin yang
patriarkhi dan androsentris. Jika
tidak dilakukan dekonstruksi terhadap
dasar-dasar teologi yang demikian
ini, maka diskriminasi gender
akan semakin melebar. Pada
akhirnya akan memunculkan kembali tradisi jahiliyah, yaitu jahiliyah modern.
BAB
III
PENUTUP
Perdebatan tentang
gerakan feminisme dan
hak-hak perempuan telah menjadi
agenda utama di
banyak negara di dunia pada saat ini. Di
Indonesia sendiri sampai saat
ini persoalan tentang
gerakan feminisme dan hak-hak
perempuan berada pada tahap
di mana hak-hak perempuan tersebut
dan keikutsertaannya dalam
segala aspek kehidupannya masih
diperdepatkan dan merupakan suatu
proses penyelesaian yang
panjang dan sukar
diselesaikan.
Dapat
dikatakan bahwa secara umum tujuan gerakan
feminisme adalah untuk menciptakan
suatu kondisi di mana baik laki-laki maupun perempuan dapat
berpartisipasi secara penuh dan aktif
dalam masyarakat tanpa diskriminasi
perlakuan dan prasangka negatif
apa pun antara satu sama lain. Namun perlu digarisbawahi bahwa kesetaraan
gender yang dicitacitakan oleh gerakan
feminisme bukanlah mengacu kepada
perolehan hak istimewa bagi perempuan sehingga mengabaikan,
apalagi merendahkan martabat
laki-laki. Sebaliknya, hal ini
harus diartikan sebagai pendefinisian ulang
terhadap peran gender dan koreksi
terhadap stereotip dan
ketidakseimbangan akses gender selama ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Mujianto, Yan, dkk.
2010. Pengantar Ilmu Budaya.
Yogyakarta: Pelangi Publishing.
Amin, M.Mashur
dan Masruchah (ed).
1992. Wanita dalam Percakapan
Antar Agama:Aktualisasinya
dalam Percakapan Pembangunan. Yogyakarta: LKPSM NU DIY.
Danim, Sudarwan.
1995. Transformasi Sumber Daya
Manusia: Analisis Fungsi
Pendidikan, Dinamika Prilaku dan Kesejah-teraan
Indonsia Masa Depan. Jakarta: Bumi Aksara.
Kartowijono, Sujatin.
1982. Perkembangan Pergerakan Wanita
Indonesia. Jakarta: PT.Inti Indayu Press.
Katjasungka,
Nusrsyahbani, et.al. 2000. “Gender” dalam Penilaian Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta: International IDEA.
0 komentar:
Posting Komentar