ANALISIS
KARYA SATRA LAMA DALAM NOVEL DURGA UMAYI
Durga Umayi adalah
sebuah roman yang bercerita tentang hidup seorang wanita bernama Iin Sulinda
yang akan bertambah panjang jadi Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida Charlotte
Eugenie de Progueleaux nee du Bois de la Montagne Angelin Ruth Portier Tukinah
Senik. Ia biasa dipanggil dengan Nyonya Nusamusbida, Iin atau Linda atau Tiwi
atau Madame Nussy, Bik Ci atau Tante Wi. Tergantung situasi dan suasana. Ia
adalah anak penjual gethuk-cothot di dekat Kelenteng Cina di sudut
alun-alun. Dia dianugerahi oleh Tuhan sang pencipta alam berupa paras rupawan,
kekar seperti indo dibanding dengan abang kembar-dampitnya yang bernama Kang
Brojol yang berbeda fisiknya, meskipun dia mempunyai hidung yang sama persis
dengan Iin, hidung petruk menurut istri Brojol.
Iin Sulinda
lahir sebagai putri bungsu dari pasangan Obrus, seorang eks Kopral KNIL dan
Heiho zaman Jepang dan gerilyawan zaman revolusi bersenjata dulu, dan Legimah,
seorang penjual gethuk cothot di depan Klenteng. Iin tumbuh sebagai
gadis cantik yang sering dikagumi para pemuda setempat, di mana pun beradanya.
Kehidupan yang dijalaninya itu berlangsung dari sejak zaman Belanda sampai
zaman Orde Baru.
Sebenarnya,
Iin Sulinda dikenal sebagai call girl di kalangan diplomat dan negarawan
dunia, pengusaha papan atas, dan sudah tentu para jenderal berbintang. Semua
itu dilakukannya dengan dalih tugas negara demi lancarnya diplomasi-diplomasi,
lobi-lobi penting tingkat internasional. Kelakuannya ini sering semata-mata
untuk melihat bagaimana banyak laki-laki yang konon tokoh-tokoh gagah, agung,
serba mentereng di depan publik, nyatanya tak berdaya oleh seorang wanita di
atas ranjang.
Iin adalah
korban laki-laki. Hal ini dialaminya sedari kecil. Terasa sekali bagaimana
kakak laki-lakinya begitu bebas keluar-main ke mana saja tanpa beban, sedangkan
dirinya, Iin maksudnya, cuma pelampiasan kesal sang kakak. Misalnya saja
Iin-lah yang menjahit baju dan celana kakaknya yang sobek, atau Iin-lah yang
ditendang kakaknya ketika sedang datang.
Selama
hidupnya, Iin membantu mencuci dan menyeterika busana oleh para kalangan tinggi
yang selalu berpakaian necis dan rapi. Namun, hatinya terpesona oleh seorang
pemuda yang biasa-biasa saja yang dalam cerita pemuda tersebut sukanya memakai
baju berkantong dobel dan bercelana short gaya pandu hijau sirih, bersenapan
kayu, kepala gundul berpeci beledu. Pada suatu ketika dalam cerita tersebut
terjadi pertempuran melawan NICA, sedangkan tempat kang Brojol abang
kembar-dampitnya berada pada persimpangan jalan yang strategis sebagai
dapur umum tetapi juga markas pengaturan siasat. Melihat situasi itu Iin
mengirim surat lewat seorang pejuang TKR yang berkesatriaan di benteng bekas
VOC di muka istana, untuk sementara waktu dia harus berada di desa, menolong
abang kembar-dampitnya.
Dalam cerita
tersebut, Iin melakukan perjuangan dengan memenggal kepala seorang perwira
Gurka dan meletakkan kepala tersebut di meja panglima. Sejak peristiwa itu Iin
tidak bisa tidur tenang, paginya dengan dalih mau mandi di sungai, Iin
menghilang dari pasukan. Namun, ia kepergok suatu patroli pasukan anjing NICA
yang tersohor buasnya. Iin dituduh sebagai komunis subversive teroris, kemudian
dianiaya dengan sadis yaitu disetrum, dijepit, ditelanjangi dan
diperkosa.
Setelah
peristiwa itu, ia putus asa dan tidak ada yang memperhatikannya sebagai gadis
yang bukan gadis lagi. Terbitlah Iin menjadi call-girl bereputasi
Internasional di Jakarta. Kehidupan Iin berubah, kini orang-orang memanggilnya Madame
Nussy yang hidupnya serba glamour, Nussy sering berpindah-pindah
tempat dari Negara satu ke negara yang lain hanya sekedar makan siang ataupun
sarapan, sampai akhirnya ia bertemu dengan pelukis muda dari bali bernama
Rohadi, kembali pula ia jatuh cinta pada pelukis tersebut, di tengah-tengah
perjumpaannya dengan Rohadi ia bertemu kembali dengan pemuda bersenapan kayu
berkepala gundul berpeci beledu, dalam pertemuan itu ia menemukan tiga buah
paspor diplomatik palsu dengan tiga macam pasfoto, terbanglah ia ke singapura
maka tepat pada tanggal 11 Maret 1966, maka Iin Sulinda Pertiwi menjadi nyonya
Angelin Ruth Portier.
Rohadi
kembali ditemui oleh Iin yang ternyata telah tertangkap oleh petugas dan yang
sudah masuk penjara Wirogunan dan konon sudah diamankan ke Nusa Kambangan
karena terjerumus dalam anggota Lekra. Iin kembali teringat dengan abang kembar-dampitnya,
maka ia segera menuju ke Solo tempat Bang Brojol tinggal tapi alangkah
terkejutnya Iin ketika abangnya tidak ia ketemukan, Ia baru menyadari tempat
tinggal abangnya telah dijadikan proyek kebanggaan yang telah Madame Nussy
tanda tangani tanpa melihat dalam peta lokasi proyek.
Perjalanan
waktu terus berputar, perjumpaannya dengan Kang Brojol membuat Iin sedih karena
sama sekali kembardampinya tidak mengenali siapa dirinya, penyesalan tetap
menyelimuti dirinya dengan keadaan kampung yang telah digusur akibat proyeknya,
sebelum ia meninggalkan daerah tersebut ia menyerahkan uang tujuh belas juta
rupiah yang ia serahkan pada mertua Bang Brojol. Madame Nussy kembali ke
Singapura berharap dokter yang dulu merubahnya kini dapat mengembalikan
wujudnya menjadi Iin Linda Pertiwi kembali.
Setelah
peristiwa itu terjadi, ia menjadi dirinya sendiri dan sepulangnya dari
singapura ia tertangkap kemudian diinterogasi seorang mayor intel yang
memperlihatkan beberapa foto yang tampak olehnya. Ia sedang memimpin barisan
LEKRA bahkan foto di lapangan terbang Beijing bersama tokoh-tokoh Palu Arit.
Namun, menurut kebijaksanaan yang berwajib dan berwenang ia dibebaskan.
GAYA DAN
FUNGSINYA DALAM NOVEL DURGA UMAYI
KARYA Y.B.
MANGUNWIJAYA
A.
PENDAHULUAN
Sastra dan bahasa
merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara sastra dengan
bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1990: 218). Bahasa sebagai sistem
tanda primer dan sastra dianggap sebagai sistem tanda sekunder menurut istilah
Lotman (dalam Teeuw, 1984: 99). Bahasa sebagai sistem tanda primer membentuk
model dunia bagi pemakainya, yakni sebagai model yang pada prinsipnya digunakan
untuk mewujudkan konseptual manusia di dalam menafsirkan segala sesuatu baik di
dalam maupun di luar dirinya. Selanjutnya, sastra yang menggunakan media bahasa
tergantung pada sistem primer yang diadakan oleh bahasa. Dengan kata lain,
sebuah karya sastra hanya dapat dipahami melalui bahasa.
Ciri khas
sebuah karya sastra tidak saja dilihat berdasarkan genre-nya, tetapi
dapat pula dilihat melalui konvensi sastra maupun konvensi bahasanya. Khusus
dalam kaitan bahasa dalam sastra, pengarang mengeksploitasi potensi-potensi
bahasa untuk menyampaikan gagasannya dengan tujuan tertentu. Dengan sudut
pandang demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya ada kekhususan atau keunikan
masing-masing pengarang sebagai ciri khasnya yang mungkin merupakan kesengajaan
atau invensi pengarang dalam proses kreatifnya (Subroto, 1999: 1). Menurut
Aminuddin (1995: 1) gaya merupakan perujudan penggunaan bahasa oleh seorang
penulis untuk mengemukakan gambaran, gagasan, pendapat, dan membuahkan efek
tertentu bagi penanggapnya sebagaimana cara yang digunakannya. Sebagai wujud
cara menggunakan kode kebahasaan, gaya merupakan relasional yang berhubungan
dengan rentetan kata, kalimat dan berbagai kemungkinan manifestasi kode
kebahasaan sebagai sistem tanda. Jadi, gaya merupakan simbol verbal.
Penelitian
gaya bahasa yang terdapat dalam kaya sastra sampai saat ini masih jarang
dilakukan atau masih sedikit (Pradopo, 2000: 263). Studi gaya bahasa umumnya
masuk ke dalam dua bidang kajian yakni linguistik dan sastra. Teks dianggap
memiliki nilai yang sama untuk diteliti dari prespektif manapun (Barthes, 1981:
37-38). Dengan demikian, teks mempunyai perlakuan yang sama untuk
diinterpretasikan.
Tulisan ini
akan menelaah salah satu novel dalam sastra Indonesia karya Y.B. Mangunwijaya
yang berjudul Durga Umayi. Durga Umayi adalah sebuah roman yang
bercerita tentang hidup seorang wanita bernama Iin Sulinda yang akan bertambah
panjang jadi Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida Charlotte Eugenie de Progueleaux
nee du Bois de la Montagne Angelin Ruth Portier Tukinah Senik. Ia biasa
dipanggil dengan Nyonya Nusamusbida, Iin atau Linda atau Tiwi atau Madame
Nussy, Bik Ci atau Tante Wi. Tergantung situasi dan suasana.
Iin Sulinda
lahir sebagai putri bungsu dari pasangan Obrus, seorang eks Kopral KNIL dan
Heiho zaman Jepang dan gerilyawan zaman revolusi bersenjata dulu, dan Legimah,
seorang penjual gethuk cothot di depan Klenteng. Iin tumbuh sebagai
gadis cantik yang sering dikagumi para pemuda setempat, di mana pun beradanya.
Kehidupan yang dijalaninya itu berlangsung dari sejak zaman Belanda sampai
zaman Orde Baru.
Sebenarnya,
Iin Sulinda dikenal sebagai call girl di kalangan diplomat dan negarawan
dunia, pengusaha papan atas, dan sudah tentu para jenderal berbintang. Semua
itu dilakukannya dengan dalih tugas negara demi lancarnya diplomasi-diplomasi,
lobi-lobi penting tingkat internasional. Kelakuannya ini sering semata-mata untuk
melihat bagaimana banyak laki-laki yang konon tokoh-tokoh gagah, agung, serba
mentereng di depan publik, nyatanya tak berdaya oleh seorang wanita di atas
ranjang.
Iin adalah
korban laki-laki. Hal ini dialaminya sedari kecil. Terasa sekali bagaimana kakak
laki-lakinya begitu bebas keluar-main ke mana saja tanpa beban, sedangkan
dirinya, Iin maksudnya, cuma pelampiasan kesal sang kakak. Misalnya saja
Iin-lah yang menjahit baju dan celana kakaknya yang sobek, atau Iin-lah yang
ditendang kakaknya ketika sedang datang kesal.
Sebagai
sebuah roman, penulis memberikan kesan aneh dengan eksperimen-eksperimen
kalimat di dalamnya. Bahkan ada satu kalimat yang sampai mencakup dua halaman.
B.
RUANG LINGKUP KAJIAN STILISTIKA
Kerancauan
yang muncul dari definisi stilistika adalah masalah yang kadang dihadapi oleh
mahasiswa yang baru mengenal istilah ini. Sebab stilistika ilmu gaya bahasa
yang juga termasuk dalam cabang ilmu linguistik selain ilmu sastra.
Kridalaksana
(1982: 157), dalam Kamus Linguistik, memberikan batasan stilistika.
Menurutnya, stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang
dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdispiliner antara linguistik dan
kesusastraan (2) penerapan lingustik pada penelitian gaya bahasa. Menurut
Turner (1977: 7), stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan
perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama dalam kesusastraan.
Fowier (1987: 237) mengatakan bahwa stilistika merupakan cabang dari studi
sastra. Menurutnya, para ahli mengatakan bahwa stilistik meneliti sastra pada
aspek bahasanya, yakni imaji, stuktur suara, sintaksis, dan lain-lain.
Umar Junus
(1989: xvii) mengatakan bahwa hakikat stilistika adalah pemakaian dan
penggunaannya dalam karya sastra, tetapi kemunculannya sudah ada dalam linguistik.
Menurutnya, stilistika dipakai sebagai gabungan, yakni ilmu sastra dan ilmu
linguistik. Lebih lanjut, Umar Junus (1989: xviii) mengusulkan bahwa stilistika
itu menjadi ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari linguistik ataupun
sastra.Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa. Menurut Sudjiman (1993: 3)
stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi atau memanfaatkan unsur dan
kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh
penggunanya. Stilistika meneniliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana
sastra.
Secara umum,
lingkup telaah stilistika mencangkupi diksi atau pilihan kata (pilihan
leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola rima, dan mantra yang
digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman,
1993: 13). Disamping itu kajian stilitika dilakukan dengan mengkaji berbagai
bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan dalam seperti yang digunakan
seperti yang terlihat dalam setruktur lahir. Tanda-tanda kebahasaan itu sendiri
dapat berupa unsur fonologi, unsur leksikal, unsur sintaksis, dan unsur bahasa
figuratif (Nurgiyantoro, 1995: 280).
Menurut
Keraf (2000: 113) mengemukakan bahwa gaya bahasa yang baik harus mengandung
tiga dimensi yaitu, kejujuran, sopan santun, dan menarik. Kejujuran dalam
bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar
dalam berbahasa. Pemakaian kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan
kaliamat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran.
Sopan santun dalam bahasa berarti kita memberi penghargaan atau menghormati
orang yang diajak berbicara, khususnya pendengar atau pembaca. Menarik dalam
bahasa dapat diukur melalui komponen: variasi, humor yang sehat, pengertian
yang baik, tenaga hidup dan penuh daya khayal imajinasi.
Untuk
mengkaji karya sastra dari sudut stilistika, ada dua kemungkinan dalam
mendekatinya. Pertama, studi stilistika dilakukan dengan cara menganalisis
sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi
ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna yang
penuh. Kedua, penelitian stilistika ini dilakukan dengan mengamati variasi dan
distorsi terhadap pemakian bahasa yang normal dan menemukan tujuan estetisnya
(Wellek dan Warren, 1990: 226). Dari kedua pendekatan tersebut terlihat
perbedaan letak pijakannya. Namun, kedua pendekatan tersebut pada hakikatnya
tidaklah saling bertentangan.
Dikemukakan
Pradopo (dalam Syarifudin, 2006: 15) aspek gaya bahasa meliputi, bunyi, kata,
dan kalimat. Bunyi meliputi asosiasi, alitrasi, pola persajakan, orkestrasi dan
iramanya, kata meliputi aspek morfologi, sematik dan etimologi, dan kalimat
meliputi gaya kalimat dan sarana retorika.
Kajian
stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif.
Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang
dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud
penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara
rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan. Landasan empirik merujuk pada
kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan
dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada
apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan
menikmati, memahami, dan menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya
sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin
diungkapkan oleh pengarang. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan
tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi :
- Analisis tanda baca yang digunakan pengarang.
- Analisis hubungan antara sistem tanda yang satu
dengan yang lainnya.
- Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika
digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat
impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan
dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan
(Aminuddin, 1995: 42).
- Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang
ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin,
1995: 98).
Aminuddin
(1995: 42-43) mengungkapkan bahwa prosedur analisis yang digunakan dalam kajian
stilistika, diantaranya :
- Analisis aspek gaya dalam karya sastra.
- Analisis aspek-aspek kebahasaan seperti
manipulasi paduan bunyi, penggunaan tanda baca dan cara penulisan.
- Analisis gagasan atau makna yang dipaparkan dalam
karya sastra.
C.
LANDASAN TEORETIS
1.
Diksi
Pemilihan
kata mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih
dan digunakan oleh pengarang. Mengingat bahwa karya fiksi (sastra) adalah dunia
dalam kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata. Pemilihan
kata-kata tentunya melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk mendapatkan
efek yang dikehendaki (Nurgiyantoro, 1995: 290). Pengarang hendaknya mencurakan
perasaan dan isi pikirannya dengan setepattepatnya seperti yang dialamai oleh
batinnya. Selain itu seharusnya ia mengekspresikannya dengan ekspresi yang
dapat menjilmakan setepatnya. Pemilihan kata dalam hal itu disebut dengan diksi.
Persoalan
diksi dan pilihan kata bukanlah persoalan yang sederhana. Ketepatan pemilihan
kata atau diksi untuk mengungkapkan suatu gagasan diharapkan fungsi yang
diperoleh akan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Pengarang dari Jawa dengan
bahasa Jawa biasanya kurang merasa puas menggunakan istilah bahasa Indonesia
untuk kata-kata khas Jawa yang padan kata Indonesia yang kurang tepat sama.
Keraf (2000:
76) mengungkapkan bahwa pilihan kata merupakan hasil yang diperoleh para
leksigraf yang berusaha merekam sebuah kata, bukannya menentukan makna sebuah
kata supaya digunakan para pemakainya. Istilah diksi digunakan untuk menyatakan
kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, yang
meliputi persoalan, fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Dengan demikian,
persoalan diksi sebenarnya jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh
jalinan kata-kata itu, karena tidak sekedar untuk memilih kata-kata mana yang
dipilih untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi menyangkut masalah
frase, gaya bahasa dan uangkapan (Keraf, 2000: 23).
Kata-kata
dari bahasa daerah sering digunakan dalam karya sastra yang berlatar tempat daerah
yang bersangkutan atau tokohnya berasal dari daerah tertentu. Dengan demikian,
penggunaan kata daerah alih-alih kata Indonesia menjadi sarana pelataran atau
sarana penokohan. Latar tempat menjadi lebih berterima, sedangkan tokoh terasa
lebih wajar karena warna tempatnya yang ia peroleh (Sudjiman, 1993: 25).
2.
Gaya dan Kalimat
Istilah gaya
secara leksikal yang berpadanan dengan style berasal dari bahasa Yunani stylos
atau stilus dalam bahasa Latin. Secara umum makna stylos adalah
wujud sesuatu, misalnya bentuk arsitektur yang memiliki ciri sesuai dengan
karakteristik ruang dan waktu. Sedangkan stilus bermakna alat untuk
menulis sesuai dengan cara yang digunakan oleh penulisnya. Pengertian ini
memberikan dimensi bentuk dan cara yang menyebabkan istilah style
mengandung kategori nomina dan verba (Aminuddin, 1995: 1).
Gaya bahasa
sendiri adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur
dan menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu, (3)
keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982: 49-50).
Menurut
Sudjiman (1993: 13) pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara
yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan
menggunakan bahasa sebagai sarana. Sesungguhnya gaya bahasa terdapat dalam
segala ragam bahasa, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam
konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara
tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks
sastra tertulis.
Konsep
tentang gaya menyatakan bahwa sesungguhnya gaya adalah soal pilihan. Teeuw
(1983: 19) mengatakan bahwa ada dua prinsip universal utama yang berfungsi
dalam kode bahasa sastra yaitu prinsip ekuivalensi atau kesepadanan dan prinsip
deviasi atau penyimpangan.
Sebenarnya,
prinsip kesepadanan dan prinsip penyimpangan tidak berlaku pada konvensi
bahasa, tetapi juga pada konvensi sastra. Jurij Lotman, ahli teori sastra dan
semiotikus Rusia yang terkenal, tidak menggunakan insilah prinsip, tetapi
estetika: estetika persamaan dan estetika pertentangan (dalam Teeuw, 1983:
26-27).
Enkvist
(dalam Junus, 1989: 4) mengatakan bahwa gaya bahasa ada enam pengertian
khasnya, yakni (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada
sebelumnya, (2) pilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin, (3) sekumpulan
ciri pribadi, (4) penyimpangan norma atau kaidah, (5) sekumpulan ciri kolektif,
dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas
dari pada kalimat.
Umumnya
beberapa sastrawan mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Mereka sering melakukan
penyimpangan dalam membentuk atau menyusun kalimat yang diluar kaidah
sebenarnya. Biasanya struktur sintaksis dari suatu kalimat adalah memiliki
subyek dan predikat. Tetapi kalimat tersebut dinamai dengan kalimat sederhana
atau kalimat dasar, karena hanya memiliki kedua komponen. Kalimat dasar adalah
kalimat yang terdiri atas unsur-unsur pokok atau belum mendapat perluasan
(Arifin, 2008: 55).
Kalimat
dikatakan efektif apabila memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan pada
pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara
atau penulis kalimat itu (Arifin, 2008: 74). Kalimat efektif tidak sekadar
menghadirkan subyek, predikat, obyek, dan keterangan. Tetapi juga menghendaki
tataran yang lebih tinggi dan luas daripada itu.
Umumnya
kalimat majemuk hanya terdiri dari dua atau tiga klausa yang digabungkan
menjadi satu. Tetapi kadang kala ada sastrawan yang menyalahi hal tersebut
dengan membuat kalimat yang panjang. Bahkan satu kalimat dapat membentuk satu
paragraf yang ide gagasannya belum selesai dan masih digunakan untuk paragraf
berikutnya. Pembaca juga kadang dibuat kesulitan untuk memahami kalimat
tersebut. Hal tersebut juga dapat
dimasukkan ke dalam tataran gaya kalimat.
3.
Majas
Majas adalah
bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan
konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh para pembaca atau penulis
untuk menjelaskan gagasan mereka (Tarigan, 1985: 179). Nurgiyantoro (1995: 297)
menyatakan bahwa permajasan adalah (figure of thought) merupakan teknik
pengungkapan bahasa, penggaya bahasan yang maknanya tidak menujuk pada makna
harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna
yang tersirat. Jadi permajasan adalah gaya yang sengaja mendayagunakan
penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.
Majas atau
gaya bahasa adalah cara pengarang atau seseorang yang mempergunakan bahasa
sebagai alat mengekspresikan perasaan dan buah pikir yang terpendam didalam
jiwanya. Dengan demukian gaya bahasa dapat membuat karya sastra lebih hidup dan
bervariasi serta dapat menghindari hal-hal yang bersifat monoton yang dapat
membuat pembaca bosan.
Majas ada
bermacam-macam jenisnya, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal
(sifat) yang umum, yaitu majas tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara
menghubungkanya dengan sesuatu yang lain. Majas dibedakan menjadi empat
golongan yaitu majas pertentangan, majas penegasan, majas sindiran, dan majas
perbandingan (Syarifudin, 2006: 18-28).
D.
PEMBAHASAN
Analisis
stilistika novel Durga Umayi ini dititikberatkan pada pemilihan diksi,
yang meliputi penggunaan leksikal bahasa selain bahasa Indonesia serta
penggunaan istilah tertentu, penggunaan gaya kalimat, penggunaan majas, dan
cara penulisan novel yang terlihat secara lahiriyah.
1.
Diksi
Diksi atau
pilihan kata dalam novel Durga Umayi beranekaragam. Keanekaragaman novel
Durga Umayi memanfaatan kata-kata atau memilih kata bertujuan untuk
memperoleh keindahan guna menambah daya ekspresivitas. Maka sebuah kata akan
lebih jelas, jika pilihan kata tersebut tepat dan sesuai. Ketepatan pilihan
kata bertujuan agar tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara
penulis atau pembicara dengan pembaca atau pendengar, sedangkan kesesuaian kata
bertujuan agar tidak merusak suasana.
Dalam karya
sastra penggunaan diksi atau pilihan kata sangat beragam. Hal ini mungkin di
sengaja oleh pengarangnya untuk keindahan sastra itu sendiri. Dari sekian
banyak novel yang banyak menggunakan diksi (pilihan kata) adalah novel Durga
Umayi karya Y.B. Mangunwijaya. Dalam novel ini juga digunakan beberapa
istilah pada masa kemerdekaan Indonesia dan beberapa istilah asing dari bahasa
Belanda.
1.1
Pilihan Leksikal Bahasa Asing
Novel Durga
Umayi banyak menggunakan kata-kata dari bahasa asing. Hal ini dilakukan
oleh pengarang untuk menguatkan penggambaran latar waktu pada novel. Novel ini
menggunakan latar waktu saat penjajahan Belanda di Indonesia. Pada zaman
penjajahan Belanda banyak digunakan istilah atau leksikal dari bahasa asing,
terutama bahasa Belanda, Inggris, dan Perancis.
1.1.1
Pilihan Leksikal Bahasa Belanda
Beberapa
bagian dalam novel ini memanfaatkan leksikal bahasa Belanda, seperti pada
kutipan berikut ini:
[…] menurut
seorang tumenggung bahasa Indonesia yang sudah sejak zaman Gouverneur
Generaal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer sampai menjelang
tahun 2000 […]
Penggunaan
frasa gouvernur generaal merupakan salah satu upaya pengarang untuk
menegaskan latar waktu pada novel. Frasa gouvernur generaal merupakan
istilah dari bahasa Belanda yang berarti gubernur jenderal.
1.1.2
Pilihan Leksikal Bahasa Inggris
Pilihan
leksikal dari bahasa Inggris mempunyai kadar yang rendah bila dibandingkan
dengan leksikal dari bahasa Belanda. Bahasa Inggris digunakan pengarang sebagai
pendamping bahasa Belanda.
[…] para
pejuang generasi muda yang tergabung dalam itu lho Gerakan Martabat Perempuan
(sering diejek oleh kaum lelaki chauvinist pigs kolot sebagai
“Gerak-gerik Martabak Perempuan”) […]
Pada
kutipan di atas terdapat frasa chauvinist pigs yang merupakan leksikal
dari bahasa Inggris. Frasa tersebut berarti babi egois keterlaluan. Dari
catatan kaki yang tulis oleh pengarang, frasa itu merupakan nama olok-olok kaum
feminis untuk kaum pria (DU, 1994: 2).
[…] tanpa
sengaja serba surprise mengejutkan, ternyata adalah dewa idolanya
dari gambar sorot Yaeshio dulu itu beserta istri mudanya.
[…] seorang pemuda dengan kantong dobel dan
bercelana short gaya pandu hijau sirih, bersenapan kayu, kepala
gundul berpici beledu oleng yang tampan seram berasal dari Semarang Randusari
tetapi tinggal di asrama […]
Pada
penggalan pertama, kata surprise berarti terkejut. Kata ini sudah
mendapat pengertian pada kata mengejutkan yang berada di samping kata
surprise tersebut. Short merupakan kata dalam bahasa Inggris yang
berarti pendek. Pada kutipan ini, kata short digunakan untuk menjelaskan
keintelekkan seseorang.
1.1.3
Pilihan Leksikal Bahasa Perancis
Penggunaan
leksikal bahasa Perancis digunakan untuk julukan pada kaum bangsawan. Berikut
kutipannya:
Mungkin Madame
Nussy tergolong jenis yang oleh orang-orang Perancis dari negeri troubadour
disebut femme fatale, akan tetapi kita harus selalu sadar bahwa
konteks Indonesia […]
Pada kutipan
di atas terdapat tiga leksikal pada bahasa Perancis, yaitu madame,
troubadour, dan femme fatale. Kata madame berarti nyonya,
kata troubadour merupakan istilah untuk menyebut biduan puri istana yang
berkeliling zaman Perancis Kuno, dan kata femme fatale berarti wanita
pembawa sial. Penggunaan ketiga leksikal ini bertujuan untuk meyakinkan kepada
pembaca bahwa novel ini bercerita saat masa penjajahan Belanda yang masih
dipengaruhi kosa kata para bangsawan Perancis.
1.2
Pilihan Leksikal Bahasa Jawa
Y.B.
Mangunwijaya merupakan keturunan orang jawa yang hidup pada zaman penjajahan
belanda. Hal ini mendorong munculnya penyisipan kata, frasa, maupun kalimat
berbahasa jawa dalam novel tersebut. Berikut kutipannya:
[…]
maklumlah sebutan puan jauh lebih asli lebih ilmiah dan psikologis ledih mulia
daripada gelar nyonya yang salah kaprah dipakai oleh para ahli waris
Balai Pustaka padahal berbau teri-terasi Melayu Pasar logat kolong lorong […]
Frase salah
kaprah adalah suatu pernyataan yang sudah salah namun mengakar
kemana-mana dan masih dilakukan atau diikuti oleh banyak orang. Walaupun sudah
ada yang lebih benar tetapi orang lebih condong dengan pernyataan yang telah
ada sebelumnya.
Selain itu,
dalam novel tersebut pemanfaatan kata daerah tersurat pada makanan khas jawa.
Berikut kutipannya:
[…] yang
menjual gethuk cothot yang sangat digemari orang karena bahan
singkongnya sangat gurih dari tanah istimewa vulkanik hadiah Gunung Sumbing […]
(DU, 1994:
5)
Makanan gethuk
cothot adalah salah satu makanan di Jawa. Gethuk cothot adalah makanan yang
bahan bakunya adalah singkong yang isinya gula merah cair. Makanan ini adalah
makanan khas pribumi saat penjajahan Belanda.
Pengarang
juga memanfaatkan sebutan atau panggilan sapaan untuk orang lain dalam bahasa
Jawa.
[…] Iin
sedang di Jakarta, resminya diajak bibi untuk mencari pekerjaan di Jakarta,
sebab uang untuk meneruskan sekolah sudah tidak ada setelah Mbok Legimah
meninggal […]
Kata mbok
merupakan bentuk sapaan pada ibu atau perempuan tua dalam bahasa Jawa yang
berarti ibu. Kata ini sering dipakai dalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya
di daerah pedesaan. Selain itu juga ada pula penggunaan nama yang asal usulnya
merupakan nama dalam bahasa Jawa atau dalam adat Jawa. Berikut kutipannya:
[…] sayang
sebetulnya sebab hanya dua malam ibunya (Legimah namanya karena lahir si
suatu hari Jumuah Legi) […]
[…] tetapi bagaimanapun, Brojol, yakni
nama abang kembar dampit Punyo Pertiwi, toh selalu mendapat bekal hadiah uang
tidak sedikit dari adiknya yang dulu ketika masih kecil […]
Dua
penggalan di atas terkandung dua istilah dalam bahasa Jawa yang dimanfaatkan
untuk sebuah nama orang, yaitu Legimah dan Brojol. Orang zaman
dahulu sering menggunakan istilah Jawa untuk menamai anak-anak mereka.
Dalam novel
ini juga digunakan beberapa kata-kata yang biasa digunakan oleh orang Jawa
ketika dalam percakapan sehari-hari. Berikut kutipannya:
[…] tetapi duh
gusti biarlah kemudian Obrus bahagia bersama lagi dengan Legimah […]
(DU, 1994:
14)
Frasa duh
gusti merupakan ujaran dalam bahasa Jawa yang berarti ya Tuhan dalam
bahasa Indonesia.
1.3
Penggunaan Istilah
Peristilahan
yang digunakan oleh pengarang pada novel Durga Umayi sangat beraneka
ragam. Banyak nama tokoh pahlawan dan tokoh sejarah Indonesia dipergunakan
dalam novel ini. Berikut kutipannya:
[…] pendek
kata legendaris, tidak kalah dari Ratu Ken Dedes yang tidak hanya mampu
mempesona Ken Arok sayang namun malang, konsumen keris pusaka Empu
Gandring, tetapi konon juga mempesona Praklamator Republik Indonesia,
jelasnya Bung Karno […]
Dalam kutipan
di atas, terdapat beberapa nama tokoh yang sudah tidak asing lagi bagi sejarah
Indonesia, yaitu Ken Arok, Ken Dedes, Empu Gandring, dan Bung Karno.
Ada pula
penggunaan istilah dari bahasa Jepang yaitu heiho. Heiho adalah
serdadu pembantu tentara Jepang dalam Perang Pasifik. Berikut kutipannya:
Masuk SMP di
Iin Linda dibekali ayahnya yang eks kopral KNIL itu (kelak heiho
dan sersan mayor TKR lalu letnan lalu kapten TNI anumerta) dengan nama yang
lebih indah penuh makna […]
1.4
Pemanfaatan Akronim
Menurut
Sudjiman (1993: 23), sejumlah kata dalam bahasa dapat digunakan secara lugas,
misalnya pada bidang keilmuan makna denotatifnya dominan. Akan tetapi, lebih
banyak kata yang dalam penggunaannyaharus diperhitungkan benar makna
konotatifnya.
Dalam pengacuan
persona, akan diperhatikan hubungan antar pembicara apakah hubungannya akrab
atau tidak akrab, setaraf atau ada satu pihak yang lebih tinggi atau senior
atau tua, sebangsa atau tidak, dan banyak pertimbangan lainnya. Kekeliruan
memilih kata atau rangkaian kata dapat berakibat fatal.
Misalnya
pemanfaatan kata Punyo yang merupakan akronim dari Puan Nyonya dan
Madame. Nusamusbida bisa dipanggil Punyo atau Madame tergantung
pada suasana. Selain itu penggunaan kata wanita dan perempuan
tergantung pada nilai rasanya. Berikut kuttipannya:
[…] sehingga
barangkali demi kompromi pribumi dan demi harmoni yang sangat dianjurkan para
penguasa, sebainyalah dang dia kita sebut saja Pu(an) Nyo(nya)
Nusamusbida, lengkapnya Punyo Iin Sulinda Pertiwi
Nusamusbida […]
Akronim juga
dimanfaatkan pengarang sebagai singkatan dalam menuliskan hal-hal yang dianggap
panjang. Misalnya untuk menuliskan Manifes Politik Anti Neo-kolonialisme Pro
New Emerging Forces, pengarang menggunakan akronim manifespolantinekolimpronefos.
Berikut kutipannya:
[…] dan
setiap hari tambah partai baru yang semua memperjuangkan hak-hak rakyat, dan
setiap jam ada penyataan mendukung manifespolantinekolimpronefos yang
menggebu-gebu […]
2.
Gaya Kalimat
Gaya kalimat
ini adalah gaya yang digunakan pengarang untuk membentuk suatu kalimat sehingga
membentuk makna tersendiri. Gaya kalimat ini meliputi penggunaan struktur
kalimat dan penciptaan citraan tertentu.
2.1
Struktur Kalimat
Kalimat-kalimat
dalam novel ini memang kurang wajar apabila dibandingkan dengan kalimat pada
umumnya. Kalimat-kalimat dalam novel ini jika digolongkan ke dalam kalimat
majemuk memang kurang pas, karena kalimat dalam novel ini hampir seluruhnya
kurang wajar. Ada beberapa paragraf yang hanya terdiri dari satu kalimat saja.
Hal ini yang
menyebabkan pembaca kurang bisa memahami secara optimal inti dari setiap
paragraf. Umumnya pembacaan terhadap novel ini hanya sebatas pembacaan cepat
dan tidak intensif. Inilah yang menimbulkan keunikan pada novel Durga Umayi.
Novel ini
merupakan novel yang berbentuk deskripsi atas sebuah kejadian dan perjalanan
hidup seorang tokoh. Sehingga bedampak pada pembentukan kalimat yang tidak
menggunakan kalimat langsung. Pengarang mengganti percakapan dengan kalimat tak
langsung. Tetapi penggantian itu masih sedikit terasa, buktinya ada beberapa
bagian kalimat tak langsung masih menggunkan kata-kata seperti pada kalimat
langsung. Berikut kutipannya:
[…] kalau
Bung Hatta sih tidak pernah karena beliau selalu necis teratur, tidak hanya
datang pas berdisiplin 5 menit sebelum acara dimulai […]
Pada kutipan
di atas terlihat kata sih yang menunjukkan kalimat percakapan. pengarang
banyak menggunakan kata-kata yang mencirikhaskan kalimat langsung pada kalimat
tak langsung. Hal ini dimanfaatkan pengarang sebagai nilai tambah, agar pembaca
sedikit mudah memahami kalimat-kalimat yang panjang itu.
Dalam novel
ini, pengarang menggunakan kalimat dalam bahasa asing. Pengarang mencantumkan
terjemahan dalam bahasa Indonesia yang diletakkan di dalam tanda kurung yang
berada samping kalimat itu. Berikut kutipannya:
[…] maka
betapa hati akan merekah ah ah mon noble chévalier que je réve désireuse de
vous! (ah ah pendamping priaku ningrat, betapa aku bermimpi mendambakan
kau!) atau How lovely, I know you are coming, my dearest hero! (Betapa
manis, aku tahu kau datang, pahlawanku yang paling kusayangi!) […]
Tetapi ada
pula yang tidak dicantumkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Hal ini yang
menimbulkan kesulitan pembaca dalam memahami kalimat-kalimat yang ada dalam
novel. Berikut kutipannya:
[…] ataukah
semua ini toh hanya een rimpel in de oceaan seperti yang dikomentarkan
Pemimpin Besar Revolusi tentang pembunuhan […]
2.2
Citraan dalam Kalimat
Selain
bentuk sintaksis yang kurang wajar, pengarang juga memanfaatkan citraan dalam
membentuk kalimat-kalimatnya. Citraan merupakan gambaran yang timbul dalam
khayal atau angan-angan pembaca karya sastra umum. Gambaran dalam angan-angan
seperti itu sengaja diupayakan oleh pengarang agar hal-hal yang semula abstrak
menjadi konkret, agar menimbulkan suasana khusus dan mengesankan (Suharianto,
2005: 40). Citraan yang ditemukan pada novel ini antara lain citran
penglihatan, citraan pendengaran, dan citraan gerak.
2.2.1
Citraan Pendengaran
Citraan ini
merupakan citraan manakala indra pendengaran akan digugah untuk merasakan
maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang. Berikut kutipannya:
[…] sabuk
kulit lebar berdompet dan kaki dalam selop kulit yang diseret-seret berbunyi
berirama sregsreg-klok-sregsreg-klok; […]
Pada kutipan
di atas, terdapat kata yang menggambarkan atau memvisualisasikan suatu bunyi
yaitu sregsreg-klok-sregsreg-klok. Bunyi itu ditimbulkan karena sepatu
selop dari kulit yang diseret-seret.
2.2.2
Citraan Penglihatan
Citraan ini
merupakan citraan saat penglihatan digugah untuk mencoba merasakan apa yang
ingin pengarang sampaikan. Berikut kutipannya:
[…] blus dan
roknya putih diseterika rapi dan kepang rambutnya yang panjang sudah dihiasi
dengan dua pita merah […]
Pada kutipan
di atas, terlihat penggambaran mengenai dandanan yang dilakukan pada diri Tiwi.
Pembaca seolah-olah melihat sosok Tiwi dengan menggunakan blus dan rok putih
serta rambut yang dikepang dan diikat dengan pita berwana merah.
2.2.3
Citraan Gerak
Citraan
jenis ini merupakan citraan yang menggambarkan gerak, atau menggambarkan
sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat
bergerak. Berikut kutipannya:
[…] sehingga
semua yang telanjang kelihatan bugel-bugil seperti pameran teater striptease,
dan sedang nyaman menikmati awan-awan bisa harum yang menyelubung menyeka
mengelus-elus kebugilannya […]
Pada kutipan
di atas, digambarkan mengenai gerak sehingga pembaca seperti merasakan gerakan
busa sabun itu menyelubung, menyeka, dan mengelus-elus kebugilan tubuh tokoh
Iin.
3.
Ciri Khas Novel
Novel karya
YB Mangunwijaya ini memang unik. Hal ini dapat dilihat dari cara penulisan
novel yang banyak memasukkan unsur pewayangan. Bagian awal novel disisipkan
bagian yang diberi judul Prawayang yang berisi jalinan kata-kata yang
ditulis dalam berbagai bahasa. Tetapi didominasi pada bahasa Indonesia.
Prawayang
Noon nun di waktu itu
cipta cerita berkisah-kidung tentang
ooh oahem ahem ohem ohem kakang kadang-lanang
ooh oahem ahem ohem simbok ayu mbok ayu
mbakyu ohem oahem ahem,
konon kisah mengesah sedih bahwa noon
nun di waktu itu Batari Durga
ratu rangah rakus rampus dari
loka lanyau lanyah Setragandamanyit, artinya
Tempat Pengasingan Yang Berbau Mayat,
…………………………………………….
Kunci untuk
menerangkan garis besar Durga Umayi sebenarnya dapat ditemukan dari judulnya,
yaitu Durga Umayi. “Durga Umayi” berasal dari dua nama “Dewi Umayi” dan
“Batari Durga”.
Dewi Umayi
adalah sosok dewi yang cantik jelita istri Batara Guru, penguasa kayangan.
Tetapi sang dewi akhirnya dikutuk menjadi Batari Durga yang berupa wanita
gembrot dan raksasa hitam dan mengerikan. Ia diminta untuk tinggal di suatu
kuburan, yaitu Sentragandamayit. Dalam cerita selanjutnya, akhirnya, sang dewi
itu dikenal sebagai dwisosok, yaitu Umayi yang cantik jelita sekaligus sakti
dan sebagai Durga yang jahat, pembunuh dan pembawa malapetaka. Semua itu
terjadi akibat ulah suaminya, Batara Guru, atas dirinya.
Pengarang
dalam pemilihan judul Durga Umayi mempunyai latar belakang. Hal ini
terlihat pada bagian cerita di dalam novel. Walaupun penjelasan ini tidak
secara terang-terangan menjelaskan mengenai judul novel, tetapi bagian novel
ini dapat menjadi gambaran mengenai alasan pengarang memilih judul Durga
Umayi. Berikut kutipannya:
Tetapi
bagaimana seandaianya perwira Gurka tampan muda dari suku India yang tersohor
jago-jago kelahi tahu kepalanya dipenggal oleh tangan-tangan perempuan? Oleh
seorang Batari Durga? Ah, benarkah Iin Linda Pertiwi sekarang sudah menjadi
pengejawantahan Batari Durga yang dulu Dewi Uma sakti sani santing cantik, istri
Batara Guru penguasa Kayangan itu? […]
Dari kutipan
di atas sebenarnya merupakan kutipan beberapa pertanyaan yang dimunculkan oleh
pengarang. Pertanyaan-pertanyaan ini akan memunculkan pemaknaan tersendiri bagi
pembacanya. Pada bagian novel sebelum kutipan di atas, diceritakan mengenai
tokoh Tiwi. Pada bagian selanjutnya dari penggalan di atas, diceritakan
mengenai Batara Guru dan Dewi Uma yang saling mengutuk hingga Dewi Uma menjadi
Batari Durga. Pengarang menginginkan tokoh Tiwi menjadi sosok Dewi Uma sekaligus
tokoh Durga.
Selain itu,
novel ini juga menggunakan beberapa buku sebagai referensi penyusunan cerita.
Pengarang juga menambahkan catatan kaki untuk beberapa peristiwa yang ia ambil
dari sumber tertentu. Berikut kutipannya:
[…] kelak
diberitakan ia meminjam seekor kuda dokar dari desa didekat peristiwa, lalu
naik kuda masuk Bandung Selatan ke Jalan Kepatihan, tempat Komando Devisi III
Priangan, berhenti di sana, dan meletakkan kepala penggalan itu di meja
Panglima Devisi, lengkap dengan tanda pangkat dan pita-pita tanda jasanya
selama Perang Dunia II; maka sejak itu Tiwi kadang-kadang diperbolehkan
mengawal Panglima Devisi bila sedang berdinas dengan duduk di atas kap mesin
mobilnya […]
Kutipan di
atas diberikan catatan kaki oleh pengarang kepada sebuah keterangan yang
tertulis di bagian bawah halaman 61, yaitu Kejadian historis, lihat Jend.
Dr. A. Haris Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, jilid 1, edisi II, cet.1,
1990, hal.211.
4.
Majas
Majas adalah
bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan
konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh para pembaca atau penulis
untuk menjelaskan gagasan mereka (Tarigan, 1985:179). Majas menyebabkan karya
sastra menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, lebih hidup, dan
menimbulkan kejelasan gambaran angan.
4.1
Majas Personifikasi
Personifikasi
merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat
seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku
sebagaimana halnya manusia. Pada novel ini, Mangunwijaya menggunakan beberapa
personifikasi. Berikut kutipannya:
[…] ibunya
dalam waktu singkat dua hari saja meninggal dibantai penyakit sampar bisul yang
pernah merajalela sebentar di beberapa daerah pada tahun-tahun pendudukan yang
serba kekurangan itu […]
Pada kutipan
di atas, pada bagian dibantai penyakit sampar bisul pengarang memaparkan
tentang penyakit sampar bisul yang membantai seorang ibu. Padahal secara logika
yang bisa membantai adalah manusia. Pengarang memaparkan hal itu agar cerita
tersebut lebih hidup.
[…]
berkali-kali terdengar suaranya yang merdu mengalun mengayun maupun berguruh
berguntur bergetar bergelegar melalui kotak-kotak radio yang waktu itu disegel
[…]
Pada kutipan
di atas, pada bagian suaranya yang merdu mengalun mengayun pengarang
memaparkan suara yang bisa mengayun. Apakah suara itu benar-benar bisa
mengayun, pasti tidak. Yang bisa mengayun hanyalah manusia.
4.2
Majas Hiperbola
Majas
hiperbola digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal dengan berlebihan juga.
Majas ini digunakan untuk memberikan gambaran tentang sesuatu sehingga mampu
memberikan efek yang lebih mendalam. Berikut kutipannya:
[…] pesona
Ken Dedes terasa oleh beliau tidak sebagai negarawan tetapi sebagai manusia
penyambung organ jutaan rakyat penghuni puluhan ribu pulau […]
Pada kutipan
di atas, pengarang menggambarkan pesona Ken Dedes bahwa ia tidak sebagai
negarawan tetapi sebagai manusia penyambung organ jutaan rakyat penghuni ribuan
pulau. Frasa penyambung organ jutaan rakyat dapat dimaknai sebagai
pahlawan yang mempersatukan rakyat waktu itu.
[…] akan
tetapi toh pernah memberanikan juga terjun ke dalam kawah Revolusi Besar lewat
suatu proklamasi yang dipertaruhkan dengan bengawan darah dan air mata […]
Pada kutipan
di atas dapat di simpulkan bahwa Revolusi Besar digambarkan seperti sebuah
kawah dan saat tokoh mengkuti aktivitas dalam Revolusi Besar itu digambarkan
dengan mempertaruhkan darah dan air mata. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat
berlebihan.
4.3
Majas Repetisi
Majas
repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata
atau frasa. Berikut kutipannya:
[…] pokoknya
pergi dari dunia perang dan pembunuhan dan pembakaran dan
perkosaan dan perampasan dan sekian banyak ibu bingung anak-anak
menangis cemas lapar terluka terkapar terbunuh […]
Pada kutipan
diatas terdapat kata dan yang diulang-ulang. Hal ini untuk menegaskan
bahwa Tiwi dan pasukannya akan pergi entah kemana meninggalkan wilayahnya.
Perasaan
Tiwi yang terkagum-kagum dituangkan pengarang dengan pengungkapan majas
repetisi. Berikut kutipannya:
Maka
terkagum-kagumlah hati Dik Tiwi, betapa beberapa goresan kuas sungguh dapat
berbicara dan berbisik merintih dan tertawa gila, suatu dunia yang ternyata
lebih real daripada yang real kita lihat dengan mata telanjang, karena manusia
tidak pernah melihat dengan lensa kaca dan fil seluloid biasa: segala-gala
direkam dijiplak dungu, tetapi dengan hati dengan perasaan dengan
tradisi dengan agama dengan pandangan semesta dengan
nafsu dan dambaan hati dengan tafsiran dan sentimen dan pemberian arti, dengan
air mata maupun gertak gigi […]
Pada kutipan
di atas, kata dengan diulang-ulang dengan tujuan mengintensifkan maksud
bahwa perasaan Tiwi yang kagum di dorong oleh hal-hal yang ia punya.
4.4
Majas Retoris
Retoris
adalah gaya bahasa penegasan yang berupa pertanyaan yang jawabannya sudah
terkandung dalan deretan kata-kata itu. Biasanya retoris digunakan untuk
menanyakan hal-hal yang tidak perlu dikemukakan jawabannya. Penggunaan retoris
pada novel ini adalah untuk menarik perhatian pembaca agar ikut berfikir
mengenai masalah yang ada dalam cerita. Berikut kutipannya:
[…] untung
istrinya tidak marah dan cemburu sebab bukankah punyo metropolitan itu
adik kandungnya sendiri, kembar-dampit tetapi lain nasib? […]
Pada kutipan
di atas, pengarang memunculkan pertanyaan mengenai tindakan istri Kang Brojol
yang tidak marah dengan Tiwi, yang jelas-jelas berbeda nasib dalam segi
material dalam hidup.
4.5
Majas Sarkasme
Majas
sarkasme adalah majas sindiran yang terkasar serta langsung menusuk perasaan.
Majas ini ditemukan dalam percakapan-percakapan saat konflik terjadi. Fungsi
majas ini dalam novel ini adalah untuk menjelekkan tokoh lain yang sedang
mengalami konflik dengan tokoh tersebut. Atau juga penggunaan sarkasme adalah
untuk menjelekkan diri sendiri. Berikut kutipannya:
Istrinya
sendiri malahan lebih membuat Kang Brojol minder akibat olok-oloknya: mengapa
adiknya begitu rupawan, kekar seperti Indo, dengan sosok berukuran proporsional
antara pantat, pinggang, dan dada yang begitu sempurna terkombinasi dengan
wajah amerika […]
Pada kutipan
di atas, pengarang mempertegas olok-olok istri dari Kang Brojol. Istrinya heran
kenapa adik kembar-dampit dari Kang Brojol lebih rupawan ketimbang Kang Brojol.
Istrinya heran kenapa tidak sama rupawannya Kang Brojol dengan Tiwi, yang
jelas-jelas satu kandungan.
4.6
Majas Simile
Majas simile
adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan
kata-kata pembanding. Majas ini berfungsi sebagai pembanding dua hal dengan
memanfaatkan kata penghubung tertentu, seperti bagai, bagaikan, seperti,
laksana, dan lain sebagainya.
[…] dalam
lubuk hatinya masih menyimpan rasa bagaikan butiran mutiara dalam
kerang, jiwa sosiawati darmawati yang lembut penuh pengertian dan damba cinta
[…]
Kutipan di
atas menjelaskan bahwa rasa yang tersimpan dalam lubuk hati digambarkan menyerupai
butiran mutiara dalam kerang. Hal ini ditegaskan oleh klausa berikutnya yaitu
rasa itu menumbuhkan jiwa sosial dan dermawan.
[…] di
lokasi-lokasi itulah Cik Bi benar-benar merasa diri seperti ikan
lumba-lumba di lautan maluku, lalu berkembanglah dada pesonanya maupun gejolak
bahagia gairahnya […]
Pada kutipan
di atas digambarkan perasaan pada diri Cik Bi. Perasaannya digambarkan
menyerupai tingkah seekor lumba-lumba di lautan maluku. Hal ini yang
mengakibatkan kalimat berikutnya, yaitu dirinya menjadi bahagia.
Obrus anak
Kebumen Kedu yang lugas lugu yang bernaluri adil seperti anak
tidak akan mengutuk Legimah hanya karena dia mencari nafkah dengan tidur bersih
necis dalam kamar bagus […]
Kutipan di
atas menggambarkan tokoh Obrus yang mempunyai sifat adil. Anak itu digambarkan
tidak akan mengutuk Legimah, walaupun dia mencari nafkah dengan tidur dengan
orang lain.
4.7
Majas Klimaks
Majas
klimaks adalah gaya bahasa untuk menuturkan satu gagasan atau hal secara
berturut-turut dari yang sederhana meningkat kepada gagasan atau hal yang lebih
kompleks. Berikut kutipannya:
[…] dan
tentu saja seperti biasanya sesudah disergap, dihardik, diancam, diantar
ke biro NEFIS untuk diperiksa, artinya dituduh mengacau dicap komunis
subversif teroris […]
Kutipan di
atas dijelaskan oleh pengarang mengenai pengalaman yang diterima Tiwi ketika
Tiwi kepergok pasukan patroli. Perlakuan yang diterima Tiwi dijelaskan oleh
pengarang secara berulang dengan mengunakan kata-kata yang semakin meningkat
yaitu disergap, dihardik, diancam, dan diantar. Awalan di-
ini menegaskan mengenai perlakuan yang diberikan oleh petugas patroli.
4.8
Majas Metafora
Majas
metafora adalah majas perbandingan hanya tidak menggunakan kata-kata
pembanding. penggunaan metafora dalam novel ini berfungsi untuk membandingkan
dua hal secara singkat dan mampu menggambarkan apa yang sedang terjadi atau
mampu menggambarkan apa yang dibandingkan itu. Berikut kutipannya:
[…] dan
sungguh memang sungguh mengherankan, wajah Tiwi sejak 11 Maret 1966 itu sudah bermetamorfosa
menjadi lain sama sekali, dulu si jelita asli Jawa Tengah Tidar Progo dan Elo,
tetapi sekarang ada kesan amoinya atau bumbu-bumbu selera Indo yang begitu
khusus, sehingga bisa ditafsir gadis Makao campur Portugis […]
Pada kutipan
di atas, pengarang menjelaskan mengenai wajah Tiwi yang berubah derastis
setelah mengalami operasi. Secara tidak langsung pengarang membandingkan wajah
Tiwi sebelum dioperasi dengan sesudah dioperasi.
Mungkin Madame
Nussy tergolong jenis yang oleh orang-orang Perancis dari negeri troubadour
disebut femme fatale, akan tetapi kita harus selalu sadar bahwa konteks
Indonesia sama sekali lain dari apa yang dianalisis oleh para ahli di
negeri-negeri seberang apalagi Barat […]
Kutipan di
atas adalah penggambaran mengenai Madame Nussy. Ia digambarkan sebagai
seorang femme fatale yaitu seorang wanita pembawa sial. Hal itu
dibandingkan dengan keadaan konteks di Indonesia yang berbeda dengan di Barat.
Di Indonesia seorang biduan (troubadour) tidak dianggap sebagai pembawa
sial.
4.9
Majas Ironi
Majas ironi
adalah majas sindiran yang melukiskan sesuatu dengan menyatakan sebaliknya dari
apa yang sebenarnya dengan maksud untuk menyindir orang. Dalam novel ini, ironi
berfungsi sebagai penggunjingan terhadap tokoh tertentu. Berikut kutipannya:
Apa sih
lelaki itu kok merasa diri donor yang memberi donor yang memberi tulang rusuk
untuk dijadikan bahan wanita, padahal cuma gumpalan daging koyor bukan malaikat
bukan binatang dengan dada-dada kempes kerempeng tidak punya susu atau air
setetes pun yang dapat memberi kehidupan kepada makhluk mungil […]
Pada kutipan
di atas, pengarang mengejek para kaum lelaki. Lelaki hanyalah bahan yang
dijadikan untuk wanita dan fisiknya pun jelek (dadanya terepes dan tidak
mempunyai susu yang bisa memberi asi kepada anaknya).
E.
PENUTUP
Dari
analisis yang dilakukan pada novel Durga Umayi dengan pendekatan
stilistika, didapati beberapa temuan sebagai berikut:
1.
Diksi yang digunakan sebagai pilihan
pembangun novel ini cukup beragam.
a.
Pengarang menggunakan pilihan
leksikal dari bahasa asing, seperti: bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa
Perancis, dan bahasa Jawa.
b.
Pengarang juga menggunakan istilah.
Banyak nama tokoh pahlawan dan tokoh sejarah Indonesia dipergunakan dalam novel
ini. Ada pula penggunaan istilah dari bahasa Jepang yaitu heiho.
c.
pengarang juga menggunakan akronim.
2.
Gaya Kalimat yang ditemui meliputi
struktur kalimat dan citraan dalam kalimat.
a.
Kalimat-kalimat dalam novel ini memang kurang wajar apabila dibandingkan dengan
kalimat pada umumnya. Kalimat-kalimat dalam novel ini jika digolongkan ke dalam
kalimat majemuk memang kurang pas, karena kalimat dalam novel ini hampir
seluruhnya kurang wajar. Ada beberapa paragraf yang hanya terdiri dari satu
kalimat saja.
b.
Dalam novel ini, pengarang menggunakan kalimat dalam bahasa asing. Pengarang
mencantumkan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang diletakkan di dalam tanda
kurung yang berada samping kalimat itu.
c.
Citraan yang ditemukan pada novel ini antara lain citran penglihatan, citraan
pendengaran, dan citraan gerak.
3.
Novel ini mempunyai ciri khas tersendiri dari novel lain.
a.
Bagian awal novel disisipkan bagian yang diberi judul Prawayang yang
berisi jalinan kata-kata yang ditulis dalam berbagai bahasa.
b.
Kunci untuk menerangkan garis besar Durga Umayi sebenarnya dapat ditemukan dari
judulnya, yaitu Durga Umayi. “Durga Umayi” berasal dari dua nama “Dewi
Umayi” dan “Batari Durga”. Pengarang dalam pemilihan judul Durga Umayi
mempunyai latar belakang. Hal ini terlihat pada bagian cerita di dalam novel.
Walaupun penjelasan ini tidak secara terang-terangan menjelaskan mengenai judul
novel, tetapi bagian novel ini dapat menjadi gambaran mengenai alasan pengarang
memilih judul Durga Umayi.
c.
Novel ini menggunakan beberapa buku sebagai referensi penyusunan cerita.
Pengarang juga menambahkan catatan kaki untuk beberapa peristiwa yang ia ambil
dari sumber tertentu.
4.
Majas yang ditemukan pada novel ini, antara lain: majas personifikasi, majas
hiperbola, majas repetisi, majas retoris, majas sarkasme, majas simile, majas
klimaks, majas metafora, dan majas ironi.
0 komentar:
Posting Komentar