Kamis, 14 Januari 2016

ANALISIS KARYA SATRA LAMA DALAM NOVEL DURGA UMAYI

ANALISIS KARYA SATRA LAMA DALAM NOVEL DURGA UMAYI

Durga Umayi adalah sebuah roman yang bercerita tentang hidup seorang wanita bernama Iin Sulinda yang akan bertambah panjang jadi Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida Charlotte Eugenie de Progueleaux nee du Bois de la Montagne Angelin Ruth Portier Tukinah Senik. Ia biasa dipanggil dengan Nyonya Nusamusbida, Iin atau Linda atau Tiwi atau Madame Nussy, Bik Ci atau Tante Wi. Tergantung situasi dan suasana. Ia adalah anak penjual gethuk-cothot di dekat Kelenteng Cina di sudut alun-alun. Dia dianugerahi oleh Tuhan sang pencipta alam berupa paras rupawan, kekar seperti indo dibanding dengan abang kembar-dampitnya yang bernama Kang Brojol yang berbeda fisiknya, meskipun dia mempunyai hidung yang sama persis dengan Iin, hidung petruk menurut istri Brojol.
Iin Sulinda lahir sebagai putri bungsu dari pasangan Obrus, seorang eks Kopral KNIL dan Heiho zaman Jepang dan gerilyawan zaman revolusi bersenjata dulu, dan Legimah, seorang penjual gethuk cothot di depan Klenteng. Iin tumbuh sebagai gadis cantik yang sering dikagumi para pemuda setempat, di mana pun beradanya. Kehidupan yang dijalaninya itu berlangsung dari sejak zaman Belanda sampai zaman Orde Baru.
Sebenarnya, Iin Sulinda dikenal sebagai call girl di kalangan diplomat dan negarawan dunia, pengusaha papan atas, dan sudah tentu para jenderal berbintang. Semua itu dilakukannya dengan dalih tugas negara demi lancarnya diplomasi-diplomasi, lobi-lobi penting tingkat internasional. Kelakuannya ini sering semata-mata untuk melihat bagaimana banyak laki-laki yang konon tokoh-tokoh gagah, agung, serba mentereng di depan publik, nyatanya tak berdaya oleh seorang wanita di atas ranjang.
Iin adalah korban laki-laki. Hal ini dialaminya sedari kecil. Terasa sekali bagaimana kakak laki-lakinya begitu bebas keluar-main ke mana saja tanpa beban, sedangkan dirinya, Iin maksudnya, cuma pelampiasan kesal sang kakak. Misalnya saja Iin-lah yang menjahit baju dan celana kakaknya yang sobek, atau Iin-lah yang ditendang kakaknya ketika sedang datang.
Selama hidupnya, Iin membantu mencuci dan menyeterika busana oleh para kalangan tinggi yang selalu berpakaian necis dan rapi. Namun, hatinya terpesona oleh seorang pemuda yang biasa-biasa saja yang dalam cerita pemuda tersebut sukanya memakai baju berkantong dobel dan bercelana short gaya pandu hijau sirih, bersenapan kayu, kepala gundul berpeci beledu. Pada suatu ketika dalam cerita tersebut terjadi pertempuran melawan NICA, sedangkan tempat kang Brojol abang kembar-dampitnya  berada pada persimpangan jalan yang strategis sebagai dapur umum tetapi juga markas pengaturan siasat. Melihat situasi itu Iin mengirim surat lewat seorang pejuang TKR yang berkesatriaan di benteng bekas VOC di muka istana, untuk sementara waktu dia harus berada di desa, menolong abang kembar-dampitnya.
Dalam cerita tersebut, Iin melakukan perjuangan dengan memenggal kepala seorang perwira Gurka dan meletakkan kepala tersebut di meja panglima. Sejak peristiwa itu Iin tidak bisa tidur tenang, paginya  dengan dalih mau mandi di sungai, Iin menghilang dari pasukan. Namun, ia kepergok suatu patroli pasukan anjing NICA yang tersohor buasnya. Iin dituduh sebagai komunis subversive teroris, kemudian dianiaya dengan sadis yaitu disetrum, dijepit,  ditelanjangi dan diperkosa.
Setelah peristiwa itu, ia putus asa dan tidak ada yang memperhatikannya sebagai gadis yang bukan gadis lagi. Terbitlah Iin menjadi call-girl bereputasi Internasional di Jakarta. Kehidupan Iin berubah, kini orang-orang memanggilnya Madame Nussy yang hidupnya serba glamour, Nussy sering berpindah-pindah tempat dari Negara satu ke negara yang lain hanya sekedar makan siang ataupun sarapan, sampai akhirnya ia bertemu dengan pelukis muda dari bali bernama Rohadi, kembali pula ia jatuh cinta pada pelukis tersebut, di tengah-tengah perjumpaannya dengan Rohadi ia bertemu kembali dengan pemuda bersenapan kayu berkepala gundul berpeci beledu, dalam pertemuan itu ia menemukan tiga buah paspor diplomatik palsu dengan tiga macam pasfoto, terbanglah ia ke singapura maka tepat pada tanggal 11 Maret 1966, maka Iin Sulinda Pertiwi menjadi nyonya Angelin Ruth Portier.
Rohadi kembali ditemui oleh Iin yang ternyata telah tertangkap oleh petugas dan yang sudah masuk penjara Wirogunan dan konon sudah diamankan ke Nusa Kambangan karena terjerumus dalam anggota Lekra. Iin kembali teringat dengan abang kembar-dampitnya, maka ia segera menuju ke Solo tempat Bang Brojol tinggal tapi alangkah terkejutnya Iin ketika abangnya tidak ia ketemukan, Ia baru menyadari tempat tinggal abangnya telah dijadikan proyek kebanggaan yang telah Madame Nussy tanda tangani tanpa melihat dalam peta lokasi proyek.
Perjalanan waktu terus berputar, perjumpaannya dengan Kang Brojol membuat Iin sedih karena sama sekali kembardampinya tidak mengenali siapa dirinya, penyesalan tetap menyelimuti dirinya dengan keadaan kampung yang telah digusur akibat proyeknya, sebelum ia meninggalkan daerah tersebut ia menyerahkan uang tujuh belas juta rupiah yang ia serahkan pada mertua Bang Brojol. Madame Nussy kembali ke Singapura berharap dokter yang dulu merubahnya kini dapat mengembalikan wujudnya menjadi Iin Linda Pertiwi kembali.
Setelah peristiwa itu terjadi, ia menjadi dirinya sendiri dan sepulangnya dari singapura ia tertangkap kemudian diinterogasi seorang mayor intel yang memperlihatkan beberapa foto yang tampak olehnya. Ia sedang memimpin barisan LEKRA bahkan foto di lapangan terbang Beijing bersama tokoh-tokoh Palu Arit. Namun, menurut kebijaksanaan yang berwajib dan berwenang ia dibebaskan.

GAYA DAN FUNGSINYA DALAM NOVEL DURGA UMAYI
KARYA Y.B. MANGUNWIJAYA
A.      PENDAHULUAN
Sastra dan bahasa merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1990: 218). Bahasa sebagai sistem tanda primer dan sastra dianggap sebagai sistem tanda sekunder menurut istilah Lotman (dalam Teeuw, 1984: 99). Bahasa sebagai sistem tanda primer membentuk model dunia bagi pemakainya, yakni sebagai model yang pada prinsipnya digunakan untuk mewujudkan konseptual manusia di dalam menafsirkan segala sesuatu baik di dalam maupun di luar dirinya. Selanjutnya, sastra yang menggunakan media bahasa tergantung pada sistem primer yang diadakan oleh bahasa. Dengan kata lain, sebuah karya sastra hanya dapat dipahami melalui bahasa.
Ciri khas sebuah karya sastra tidak saja dilihat berdasarkan genre-nya, tetapi dapat pula dilihat melalui konvensi sastra maupun konvensi bahasanya. Khusus dalam kaitan bahasa dalam sastra, pengarang mengeksploitasi potensi-potensi bahasa untuk menyampaikan gagasannya dengan tujuan tertentu. Dengan sudut pandang demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya ada kekhususan atau keunikan masing-masing pengarang sebagai ciri khasnya yang mungkin merupakan kesengajaan atau invensi pengarang dalam proses kreatifnya (Subroto, 1999: 1). Menurut Aminuddin (1995: 1) gaya merupakan perujudan penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengemukakan gambaran, gagasan, pendapat, dan membuahkan efek tertentu bagi penanggapnya sebagaimana cara yang digunakannya. Sebagai wujud cara menggunakan kode kebahasaan, gaya merupakan relasional yang berhubungan dengan rentetan kata, kalimat dan berbagai kemungkinan manifestasi kode kebahasaan sebagai sistem tanda. Jadi, gaya merupakan simbol verbal.
Penelitian gaya bahasa yang terdapat dalam kaya sastra sampai saat ini masih jarang dilakukan atau masih sedikit (Pradopo, 2000: 263). Studi gaya bahasa umumnya masuk ke dalam dua bidang kajian yakni linguistik dan sastra. Teks dianggap memiliki nilai yang sama untuk diteliti dari prespektif manapun (Barthes, 1981: 37-38). Dengan demikian, teks mempunyai perlakuan yang sama untuk diinterpretasikan.
Tulisan ini akan menelaah salah satu novel dalam sastra Indonesia karya Y.B. Mangunwijaya yang berjudul Durga Umayi. Durga Umayi adalah sebuah roman yang bercerita tentang hidup seorang wanita bernama Iin Sulinda yang akan bertambah panjang jadi Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida Charlotte Eugenie de Progueleaux nee du Bois de la Montagne Angelin Ruth Portier Tukinah Senik. Ia biasa dipanggil dengan Nyonya Nusamusbida, Iin atau Linda atau Tiwi atau Madame Nussy, Bik Ci atau Tante Wi. Tergantung situasi dan suasana.
Iin Sulinda lahir sebagai putri bungsu dari pasangan Obrus, seorang eks Kopral KNIL dan Heiho zaman Jepang dan gerilyawan zaman revolusi bersenjata dulu, dan Legimah, seorang penjual gethuk cothot di depan Klenteng. Iin tumbuh sebagai gadis cantik yang sering dikagumi para pemuda setempat, di mana pun beradanya. Kehidupan yang dijalaninya itu berlangsung dari sejak zaman Belanda sampai zaman Orde Baru.
Sebenarnya, Iin Sulinda dikenal sebagai call girl di kalangan diplomat dan negarawan dunia, pengusaha papan atas, dan sudah tentu para jenderal berbintang. Semua itu dilakukannya dengan dalih tugas negara demi lancarnya diplomasi-diplomasi, lobi-lobi penting tingkat internasional. Kelakuannya ini sering semata-mata untuk melihat bagaimana banyak laki-laki yang konon tokoh-tokoh gagah, agung, serba mentereng di depan publik, nyatanya tak berdaya oleh seorang wanita di atas ranjang.
Iin adalah korban laki-laki. Hal ini dialaminya sedari kecil. Terasa sekali bagaimana kakak laki-lakinya begitu bebas keluar-main ke mana saja tanpa beban, sedangkan dirinya, Iin maksudnya, cuma pelampiasan kesal sang kakak. Misalnya saja Iin-lah yang menjahit baju dan celana kakaknya yang sobek, atau Iin-lah yang ditendang kakaknya ketika sedang datang kesal.
Sebagai sebuah roman, penulis memberikan kesan aneh dengan eksperimen-eksperimen kalimat di dalamnya. Bahkan ada satu kalimat yang sampai mencakup dua halaman.

B.      RUANG LINGKUP KAJIAN STILISTIKA
Kerancauan yang muncul dari definisi stilistika adalah masalah yang kadang dihadapi oleh mahasiswa yang baru mengenal istilah ini. Sebab stilistika ilmu gaya bahasa yang juga termasuk dalam cabang ilmu linguistik selain ilmu sastra.
Kridalaksana (1982: 157), dalam Kamus Linguistik, memberikan batasan stilistika. Menurutnya, stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdispiliner antara linguistik dan kesusastraan (2) penerapan lingustik pada penelitian gaya bahasa. Menurut Turner (1977: 7), stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama dalam kesusastraan. Fowier (1987: 237) mengatakan bahwa stilistika merupakan cabang dari studi sastra. Menurutnya, para ahli mengatakan bahwa stilistik meneliti sastra pada aspek bahasanya, yakni imaji, stuktur suara, sintaksis, dan lain-lain.
Umar Junus (1989: xvii) mengatakan bahwa hakikat stilistika adalah pemakaian dan penggunaannya dalam karya sastra, tetapi kemunculannya sudah ada dalam linguistik. Menurutnya, stilistika dipakai sebagai gabungan, yakni ilmu sastra dan ilmu linguistik. Lebih lanjut, Umar Junus (1989: xviii) mengusulkan bahwa stilistika itu menjadi ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari linguistik ataupun sastra.Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa. Menurut Sudjiman (1993: 3) stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi atau memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunanya. Stilistika meneniliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra.
Secara umum, lingkup telaah stilistika mencangkupi diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola rima, dan mantra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman, 1993: 13). Disamping itu kajian stilitika dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan dalam seperti yang digunakan seperti yang terlihat dalam setruktur lahir. Tanda-tanda kebahasaan itu sendiri dapat berupa unsur fonologi, unsur leksikal, unsur sintaksis, dan unsur bahasa figuratif (Nurgiyantoro, 1995: 280).
Menurut Keraf (2000: 113) mengemukakan bahwa gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga dimensi yaitu, kejujuran, sopan santun, dan menarik. Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kaliamat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Sopan santun dalam bahasa berarti kita memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak berbicara, khususnya pendengar atau pembaca. Menarik dalam bahasa dapat diukur melalui komponen: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup dan penuh daya khayal imajinasi.
Untuk mengkaji karya sastra dari sudut stilistika, ada dua kemungkinan dalam mendekatinya. Pertama, studi stilistika dilakukan dengan cara menganalisis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna yang penuh. Kedua, penelitian stilistika ini dilakukan dengan mengamati variasi dan distorsi terhadap pemakian bahasa yang normal dan menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990: 226). Dari kedua pendekatan tersebut terlihat perbedaan letak pijakannya. Namun, kedua pendekatan tersebut pada hakikatnya tidaklah saling bertentangan.
Dikemukakan Pradopo (dalam Syarifudin, 2006: 15) aspek gaya bahasa meliputi, bunyi, kata, dan kalimat. Bunyi meliputi asosiasi, alitrasi, pola persajakan, orkestrasi dan iramanya, kata meliputi aspek morfologi, sematik dan etimologi, dan kalimat meliputi gaya kalimat dan sarana retorika.
Kajian stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan. Landasan empirik merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi :
  1. Analisis tanda baca yang digunakan pengarang.
  2. Analisis hubungan antara sistem tanda yang satu dengan yang lainnya.
  3. Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan (Aminuddin, 1995: 42).
  4. Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin, 1995: 98).
Aminuddin (1995: 42-43) mengungkapkan bahwa prosedur analisis yang digunakan dalam kajian stilistika, diantaranya :
  1. Analisis aspek gaya dalam karya sastra.
  2. Analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi, penggunaan tanda baca dan cara penulisan.
  3. Analisis gagasan atau makna yang dipaparkan dalam karya sastra.

C.      LANDASAN TEORETIS
1.       Diksi
Pemilihan kata mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih dan digunakan oleh pengarang. Mengingat bahwa karya fiksi (sastra) adalah dunia dalam kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata. Pemilihan kata-kata tentunya melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk mendapatkan efek yang dikehendaki (Nurgiyantoro, 1995: 290). Pengarang hendaknya mencurakan perasaan dan isi pikirannya dengan setepattepatnya seperti yang dialamai oleh batinnya. Selain itu seharusnya ia mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjilmakan setepatnya. Pemilihan kata dalam hal itu disebut dengan diksi.
Persoalan diksi dan pilihan kata bukanlah persoalan yang sederhana. Ketepatan pemilihan kata atau diksi untuk mengungkapkan suatu gagasan diharapkan fungsi yang diperoleh akan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Pengarang dari Jawa dengan bahasa Jawa biasanya kurang merasa puas menggunakan istilah bahasa Indonesia untuk kata-kata khas Jawa yang padan kata Indonesia yang kurang tepat sama.
Keraf (2000: 76) mengungkapkan bahwa pilihan kata merupakan hasil yang diperoleh para leksigraf yang berusaha merekam sebuah kata, bukannya menentukan makna sebuah kata supaya digunakan para pemakainya. Istilah diksi digunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, yang meliputi persoalan, fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Dengan demikian, persoalan diksi sebenarnya jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu, karena tidak sekedar untuk memilih kata-kata mana yang dipilih untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi menyangkut masalah frase, gaya bahasa dan uangkapan (Keraf, 2000: 23).
Kata-kata dari bahasa daerah sering digunakan dalam karya sastra yang berlatar tempat daerah yang bersangkutan atau tokohnya berasal dari daerah tertentu. Dengan demikian, penggunaan kata daerah alih-alih kata Indonesia menjadi sarana pelataran atau sarana penokohan. Latar tempat menjadi lebih berterima, sedangkan tokoh terasa lebih wajar karena warna tempatnya yang ia peroleh (Sudjiman, 1993: 25).
2.       Gaya dan Kalimat
Istilah gaya secara leksikal yang berpadanan dengan style berasal dari bahasa Yunani stylos atau stilus dalam bahasa Latin. Secara umum makna stylos adalah wujud sesuatu, misalnya bentuk arsitektur yang memiliki ciri sesuai dengan karakteristik ruang dan waktu. Sedangkan stilus bermakna alat untuk menulis sesuai dengan cara yang digunakan oleh penulisnya. Pengertian ini memberikan dimensi bentuk dan cara yang menyebabkan istilah style mengandung kategori nomina dan verba (Aminuddin, 1995: 1).
Gaya bahasa sendiri adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur dan menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu, (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982: 49-50).
Menurut Sudjiman (1993: 13) pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Sesungguhnya gaya bahasa terdapat dalam segala ragam bahasa, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis.
Konsep tentang gaya menyatakan bahwa sesungguhnya gaya adalah soal pilihan. Teeuw (1983: 19) mengatakan bahwa ada dua prinsip universal utama yang berfungsi dalam kode bahasa sastra yaitu prinsip ekuivalensi atau kesepadanan dan prinsip deviasi atau penyimpangan.
Sebenarnya, prinsip kesepadanan dan prinsip penyimpangan tidak berlaku pada konvensi bahasa, tetapi juga pada konvensi sastra. Jurij Lotman, ahli teori sastra dan semiotikus Rusia yang terkenal, tidak menggunakan insilah prinsip, tetapi estetika: estetika persamaan dan estetika pertentangan (dalam Teeuw, 1983: 26-27).
Enkvist (dalam Junus, 1989: 4) mengatakan bahwa gaya bahasa ada enam pengertian khasnya, yakni (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya, (2) pilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin, (3) sekumpulan ciri pribadi, (4) penyimpangan norma atau kaidah, (5) sekumpulan ciri kolektif, dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas dari pada kalimat.
Umumnya beberapa sastrawan mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Mereka sering melakukan penyimpangan dalam membentuk atau menyusun kalimat yang diluar kaidah sebenarnya. Biasanya struktur sintaksis dari suatu kalimat adalah memiliki subyek dan predikat. Tetapi kalimat tersebut dinamai dengan kalimat sederhana atau kalimat dasar, karena hanya memiliki kedua komponen. Kalimat dasar adalah kalimat yang terdiri atas unsur-unsur pokok atau belum mendapat perluasan (Arifin, 2008: 55).
Kalimat dikatakan efektif apabila memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis kalimat itu (Arifin, 2008: 74). Kalimat efektif tidak sekadar menghadirkan subyek, predikat, obyek, dan keterangan. Tetapi juga menghendaki tataran yang lebih tinggi dan luas daripada itu.
Umumnya kalimat majemuk hanya terdiri dari dua atau tiga klausa yang digabungkan menjadi satu. Tetapi kadang kala ada sastrawan yang menyalahi hal tersebut dengan membuat kalimat yang panjang. Bahkan satu kalimat dapat membentuk satu paragraf yang ide gagasannya belum selesai dan masih digunakan untuk paragraf berikutnya. Pembaca juga kadang dibuat kesulitan untuk memahami kalimat tersebut.         Hal tersebut juga dapat dimasukkan ke dalam tataran gaya kalimat.
3.       Majas
Majas adalah bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh para pembaca atau penulis untuk menjelaskan gagasan mereka (Tarigan, 1985: 179). Nurgiyantoro (1995: 297) menyatakan bahwa permajasan adalah (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggaya bahasan yang maknanya tidak menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna yang tersirat. Jadi permajasan adalah gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.
Majas atau gaya bahasa adalah cara pengarang atau seseorang yang mempergunakan bahasa sebagai alat mengekspresikan perasaan dan buah pikir yang terpendam didalam jiwanya. Dengan demukian gaya bahasa dapat membuat karya sastra lebih hidup dan bervariasi serta dapat menghindari hal-hal yang bersifat monoton yang dapat membuat pembaca bosan.
Majas ada bermacam-macam jenisnya, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu majas tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkanya dengan sesuatu yang lain. Majas dibedakan menjadi empat golongan yaitu majas pertentangan, majas penegasan, majas sindiran, dan majas perbandingan (Syarifudin, 2006: 18-28).

D.      PEMBAHASAN
Analisis stilistika novel Durga Umayi ini dititikberatkan pada pemilihan diksi, yang meliputi penggunaan leksikal bahasa selain bahasa Indonesia serta penggunaan istilah tertentu, penggunaan gaya kalimat, penggunaan majas, dan cara penulisan novel yang terlihat secara lahiriyah.
1.       Diksi
Diksi atau pilihan kata dalam novel Durga Umayi beranekaragam. Keanekaragaman novel Durga Umayi memanfaatan kata-kata atau memilih kata bertujuan untuk memperoleh keindahan guna menambah daya ekspresivitas. Maka sebuah kata akan lebih jelas, jika pilihan kata tersebut tepat dan sesuai. Ketepatan pilihan kata bertujuan agar tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penulis atau pembicara dengan pembaca atau pendengar, sedangkan kesesuaian kata bertujuan agar tidak merusak suasana.
Dalam karya sastra penggunaan diksi atau pilihan kata sangat beragam. Hal ini mungkin di sengaja oleh pengarangnya untuk keindahan sastra itu sendiri. Dari sekian banyak novel yang banyak menggunakan diksi (pilihan kata) adalah novel Durga Umayi karya Y.B. Mangunwijaya. Dalam novel ini juga digunakan beberapa istilah pada masa kemerdekaan Indonesia dan beberapa istilah asing dari bahasa Belanda.
1.1     Pilihan Leksikal Bahasa Asing
Novel Durga Umayi banyak menggunakan kata-kata dari bahasa asing. Hal ini dilakukan oleh pengarang untuk menguatkan penggambaran latar waktu pada novel. Novel ini menggunakan latar waktu saat penjajahan Belanda di Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda banyak digunakan istilah atau leksikal dari bahasa asing, terutama bahasa Belanda, Inggris, dan Perancis.
1.1.1 Pilihan Leksikal Bahasa Belanda
Beberapa bagian dalam novel ini memanfaatkan leksikal bahasa Belanda, seperti pada kutipan berikut ini:
[…] menurut seorang tumenggung bahasa Indonesia yang sudah sejak zaman Gouverneur Generaal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer sampai menjelang tahun 2000 […]
Penggunaan frasa gouvernur generaal merupakan salah satu upaya pengarang untuk menegaskan latar waktu pada novel. Frasa gouvernur generaal merupakan istilah dari bahasa Belanda yang berarti gubernur jenderal.
1.1.2 Pilihan Leksikal Bahasa Inggris
Pilihan leksikal dari bahasa Inggris mempunyai kadar yang rendah bila dibandingkan dengan leksikal dari bahasa Belanda. Bahasa Inggris digunakan pengarang sebagai pendamping bahasa Belanda.
[…] para pejuang generasi muda yang tergabung dalam itu lho Gerakan Martabat Perempuan (sering diejek oleh kaum lelaki chauvinist pigs kolot sebagai “Gerak-gerik Martabak Perempuan”) […]
Pada  kutipan di atas terdapat frasa chauvinist pigs yang merupakan leksikal dari bahasa Inggris. Frasa tersebut berarti babi egois keterlaluan. Dari catatan kaki yang tulis oleh pengarang, frasa itu merupakan nama olok-olok kaum feminis untuk kaum pria (DU, 1994: 2).
[…] tanpa sengaja serba surprise mengejutkan, ternyata adalah dewa idolanya dari gambar sorot Yaeshio dulu itu beserta istri mudanya.
 […] seorang pemuda dengan kantong dobel dan bercelana short gaya pandu hijau sirih, bersenapan kayu, kepala gundul berpici beledu oleng yang tampan seram berasal dari Semarang Randusari tetapi tinggal di asrama […]
Pada penggalan pertama, kata surprise berarti terkejut. Kata ini sudah mendapat pengertian pada kata mengejutkan yang berada di samping kata surprise tersebut. Short merupakan kata dalam bahasa Inggris yang berarti pendek. Pada kutipan ini, kata short digunakan untuk menjelaskan keintelekkan seseorang.
1.1.3 Pilihan Leksikal Bahasa Perancis
Penggunaan leksikal bahasa Perancis digunakan untuk julukan pada kaum bangsawan. Berikut kutipannya:
Mungkin Madame Nussy tergolong jenis yang oleh orang-orang Perancis dari negeri troubadour disebut femme fatale, akan tetapi kita harus selalu sadar bahwa konteks Indonesia […]
Pada kutipan di atas terdapat tiga leksikal pada bahasa Perancis, yaitu madame, troubadour, dan femme fatale. Kata madame berarti nyonya, kata troubadour merupakan istilah untuk menyebut biduan puri istana yang berkeliling zaman Perancis Kuno, dan kata femme fatale berarti wanita pembawa sial. Penggunaan ketiga leksikal ini bertujuan untuk meyakinkan kepada pembaca bahwa novel ini bercerita saat masa penjajahan Belanda yang masih dipengaruhi kosa kata para bangsawan Perancis.
1.2     Pilihan Leksikal Bahasa Jawa
Y.B. Mangunwijaya merupakan keturunan orang jawa yang hidup pada zaman penjajahan belanda. Hal ini mendorong munculnya penyisipan kata, frasa, maupun kalimat berbahasa jawa dalam novel tersebut. Berikut kutipannya:
[…] maklumlah sebutan puan jauh lebih asli lebih ilmiah dan psikologis ledih mulia daripada gelar nyonya yang salah kaprah dipakai oleh para ahli waris Balai Pustaka padahal berbau teri-terasi Melayu Pasar logat kolong lorong […]
Frase salah kaprah adalah suatu pernyataan yang sudah salah namun  mengakar kemana-mana dan masih dilakukan atau diikuti oleh banyak orang. Walaupun sudah ada yang lebih benar tetapi orang lebih condong dengan pernyataan yang telah ada sebelumnya.
Selain itu, dalam novel tersebut pemanfaatan kata daerah tersurat pada makanan khas jawa. Berikut kutipannya:
[…] yang menjual gethuk cothot yang sangat digemari orang karena bahan singkongnya sangat gurih dari tanah istimewa vulkanik hadiah Gunung Sumbing […]
(DU, 1994: 5)
Makanan gethuk cothot adalah salah satu makanan di Jawa. Gethuk cothot adalah makanan yang bahan bakunya adalah singkong yang isinya gula merah cair. Makanan ini adalah makanan khas pribumi saat penjajahan Belanda.
Pengarang juga memanfaatkan sebutan atau panggilan sapaan untuk orang lain dalam bahasa Jawa.
[…] Iin sedang di Jakarta, resminya diajak bibi untuk mencari pekerjaan di Jakarta, sebab uang untuk meneruskan sekolah sudah tidak ada setelah Mbok Legimah meninggal […]
Kata mbok merupakan bentuk sapaan pada ibu atau perempuan tua dalam bahasa Jawa yang berarti ibu. Kata ini sering dipakai dalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya di daerah pedesaan. Selain itu juga ada pula penggunaan nama yang asal usulnya merupakan nama dalam bahasa Jawa atau dalam adat Jawa. Berikut kutipannya:
[…] sayang sebetulnya sebab hanya dua malam ibunya (Legimah namanya karena lahir si suatu hari Jumuah Legi) […]
 […] tetapi bagaimanapun, Brojol, yakni nama abang kembar dampit Punyo Pertiwi, toh selalu mendapat bekal hadiah uang tidak sedikit dari adiknya yang dulu ketika masih kecil […]
Dua penggalan di atas terkandung dua istilah dalam bahasa Jawa yang dimanfaatkan untuk sebuah nama orang, yaitu Legimah dan Brojol. Orang zaman dahulu sering menggunakan istilah Jawa untuk menamai anak-anak mereka.
Dalam novel ini juga digunakan beberapa kata-kata yang biasa digunakan oleh orang Jawa ketika dalam percakapan sehari-hari. Berikut kutipannya:
[…] tetapi duh gusti biarlah kemudian Obrus bahagia bersama lagi dengan Legimah […]
(DU, 1994: 14)
Frasa duh gusti merupakan ujaran dalam bahasa Jawa yang berarti ya Tuhan dalam bahasa Indonesia.
1.3     Penggunaan Istilah
Peristilahan yang digunakan oleh pengarang pada novel Durga Umayi sangat beraneka ragam. Banyak nama tokoh pahlawan dan tokoh sejarah Indonesia dipergunakan dalam novel ini. Berikut kutipannya:
[…] pendek kata legendaris, tidak kalah dari Ratu Ken Dedes yang tidak hanya mampu mempesona Ken Arok sayang namun malang, konsumen keris pusaka Empu Gandring, tetapi konon juga mempesona Praklamator Republik Indonesia, jelasnya Bung Karno […]
Dalam kutipan di atas, terdapat beberapa nama tokoh yang sudah tidak asing lagi bagi sejarah Indonesia, yaitu Ken Arok, Ken Dedes, Empu Gandring, dan Bung Karno.
Ada pula penggunaan istilah dari bahasa Jepang yaitu heiho. Heiho adalah serdadu pembantu tentara Jepang dalam Perang Pasifik. Berikut kutipannya:
Masuk SMP di Iin Linda dibekali ayahnya yang eks kopral KNIL itu (kelak heiho dan sersan mayor TKR lalu letnan lalu kapten TNI anumerta) dengan nama yang lebih indah penuh makna […]
1.4     Pemanfaatan Akronim
Menurut Sudjiman (1993: 23), sejumlah kata dalam bahasa dapat digunakan secara lugas, misalnya pada bidang keilmuan makna denotatifnya dominan. Akan tetapi, lebih banyak kata yang dalam penggunaannyaharus diperhitungkan benar makna konotatifnya.
Dalam pengacuan persona, akan diperhatikan hubungan antar pembicara apakah hubungannya akrab atau tidak akrab, setaraf atau ada satu pihak yang lebih tinggi atau senior atau tua, sebangsa atau tidak, dan banyak pertimbangan lainnya. Kekeliruan memilih kata atau rangkaian kata dapat berakibat fatal.
Misalnya pemanfaatan kata Punyo yang merupakan akronim dari Puan Nyonya dan Madame. Nusamusbida bisa dipanggil Punyo atau Madame tergantung pada suasana. Selain itu penggunaan kata wanita dan perempuan tergantung pada nilai rasanya. Berikut kuttipannya:
[…] sehingga barangkali demi kompromi pribumi dan demi harmoni yang sangat dianjurkan para penguasa, sebainyalah dang dia kita sebut saja Pu(an) Nyo(nya) Nusamusbida, lengkapnya Punyo Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida […]
Akronim juga dimanfaatkan pengarang sebagai singkatan dalam menuliskan hal-hal yang dianggap panjang. Misalnya untuk menuliskan Manifes Politik Anti Neo-kolonialisme Pro New Emerging Forces, pengarang menggunakan akronim manifespolantinekolimpronefos. Berikut kutipannya:
[…] dan setiap hari tambah partai baru yang semua memperjuangkan hak-hak rakyat, dan setiap jam ada penyataan mendukung manifespolantinekolimpronefos yang menggebu-gebu […]
2.       Gaya Kalimat
Gaya kalimat ini adalah gaya yang digunakan pengarang untuk membentuk suatu kalimat sehingga membentuk makna tersendiri. Gaya kalimat ini meliputi penggunaan struktur kalimat dan penciptaan citraan tertentu.
2.1     Struktur Kalimat
Kalimat-kalimat dalam novel ini memang kurang wajar apabila dibandingkan dengan kalimat pada umumnya. Kalimat-kalimat dalam novel ini jika digolongkan ke dalam kalimat majemuk memang kurang pas, karena kalimat dalam novel ini hampir seluruhnya kurang wajar. Ada beberapa paragraf yang hanya terdiri dari satu kalimat saja.
Hal ini yang menyebabkan pembaca kurang bisa memahami secara optimal inti dari setiap paragraf. Umumnya pembacaan terhadap novel ini hanya sebatas pembacaan cepat dan tidak intensif. Inilah yang menimbulkan keunikan pada novel Durga Umayi.
Novel ini merupakan novel yang berbentuk deskripsi atas sebuah kejadian dan perjalanan hidup seorang tokoh. Sehingga bedampak pada pembentukan kalimat yang tidak menggunakan kalimat langsung. Pengarang mengganti percakapan dengan kalimat tak langsung. Tetapi penggantian itu masih sedikit terasa, buktinya ada beberapa bagian kalimat tak langsung masih menggunkan kata-kata seperti pada kalimat langsung. Berikut kutipannya:
[…] kalau Bung Hatta sih tidak pernah karena beliau selalu necis teratur, tidak hanya datang pas berdisiplin 5 menit sebelum acara dimulai […]
Pada kutipan di atas terlihat kata sih yang menunjukkan kalimat percakapan. pengarang banyak menggunakan kata-kata yang mencirikhaskan kalimat langsung pada kalimat tak langsung. Hal ini dimanfaatkan pengarang sebagai nilai tambah, agar pembaca sedikit mudah memahami kalimat-kalimat yang panjang itu.
Dalam novel ini, pengarang menggunakan kalimat dalam bahasa asing. Pengarang mencantumkan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang diletakkan di dalam tanda kurung yang berada samping kalimat itu. Berikut kutipannya:
[…] maka betapa hati akan merekah ah ah mon noble chévalier que je réve désireuse de vous! (ah ah pendamping priaku ningrat, betapa aku bermimpi mendambakan kau!) atau How lovely, I know you are coming, my dearest hero! (Betapa manis, aku tahu kau datang, pahlawanku yang paling kusayangi!) […]
Tetapi ada pula yang tidak dicantumkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Hal ini yang menimbulkan kesulitan pembaca dalam memahami kalimat-kalimat yang ada dalam novel. Berikut kutipannya:
[…] ataukah semua ini toh hanya een rimpel in de oceaan seperti yang dikomentarkan Pemimpin Besar Revolusi tentang pembunuhan […]
2.2     Citraan dalam Kalimat
Selain bentuk sintaksis yang kurang wajar, pengarang juga memanfaatkan citraan dalam membentuk kalimat-kalimatnya. Citraan merupakan gambaran yang timbul dalam khayal atau angan-angan pembaca karya sastra umum. Gambaran dalam angan-angan seperti itu sengaja diupayakan oleh pengarang agar hal-hal yang semula abstrak menjadi konkret, agar menimbulkan suasana khusus dan mengesankan (Suharianto, 2005: 40). Citraan yang ditemukan pada novel ini antara lain citran penglihatan, citraan pendengaran, dan citraan gerak.
2.2.1 Citraan Pendengaran
Citraan ini merupakan citraan manakala indra pendengaran akan digugah untuk merasakan maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang. Berikut kutipannya:
[…] sabuk kulit lebar berdompet dan kaki dalam selop kulit yang diseret-seret berbunyi berirama sregsreg-klok-sregsreg-klok; […]
Pada kutipan di atas, terdapat kata yang menggambarkan atau memvisualisasikan suatu bunyi yaitu sregsreg-klok-sregsreg-klok. Bunyi itu ditimbulkan karena sepatu selop dari kulit yang diseret-seret.
2.2.2 Citraan Penglihatan
Citraan ini merupakan citraan saat penglihatan digugah untuk mencoba merasakan apa yang ingin pengarang sampaikan. Berikut kutipannya:
[…] blus dan roknya putih diseterika rapi dan kepang rambutnya yang panjang sudah dihiasi dengan dua pita merah […]
Pada kutipan di atas, terlihat penggambaran mengenai dandanan yang dilakukan pada diri Tiwi. Pembaca seolah-olah melihat sosok Tiwi dengan menggunakan blus dan rok putih serta rambut yang dikepang dan diikat dengan pita berwana merah.
2.2.3 Citraan Gerak
Citraan jenis ini merupakan citraan yang menggambarkan gerak, atau menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak. Berikut kutipannya:
[…] sehingga semua yang telanjang kelihatan bugel-bugil seperti pameran teater striptease, dan sedang nyaman menikmati awan-awan bisa harum yang menyelubung menyeka mengelus-elus kebugilannya […]
Pada kutipan di atas, digambarkan mengenai gerak sehingga pembaca seperti merasakan gerakan busa sabun itu menyelubung, menyeka, dan mengelus-elus kebugilan tubuh tokoh Iin.
3.       Ciri Khas Novel
Novel karya YB Mangunwijaya ini memang unik. Hal ini dapat dilihat dari cara penulisan novel yang banyak memasukkan unsur pewayangan. Bagian awal novel disisipkan bagian yang diberi judul Prawayang yang berisi jalinan kata-kata yang ditulis dalam berbagai bahasa. Tetapi didominasi pada bahasa Indonesia.
Prawayang
Noon nun di waktu itu
cipta cerita berkisah-kidung tentang
ooh oahem ahem ohem ohem kakang kadang-lanang
ooh oahem ahem ohem simbok ayu mbok ayu
mbakyu ohem oahem ahem,
konon kisah mengesah sedih bahwa noon
nun di waktu itu Batari Durga
ratu rangah rakus rampus dari
loka lanyau lanyah Setragandamanyit, artinya
Tempat Pengasingan Yang Berbau Mayat,
…………………………………………….
Kunci untuk menerangkan garis besar Durga Umayi sebenarnya dapat ditemukan dari judulnya, yaitu Durga Umayi. “Durga Umayi” berasal dari dua nama “Dewi Umayi” dan “Batari Durga”.
Dewi Umayi adalah sosok dewi yang cantik jelita istri Batara Guru, penguasa kayangan. Tetapi sang dewi akhirnya dikutuk menjadi Batari Durga yang berupa wanita gembrot dan raksasa hitam dan mengerikan. Ia diminta untuk tinggal di suatu kuburan, yaitu Sentragandamayit. Dalam cerita selanjutnya, akhirnya, sang dewi itu dikenal sebagai dwisosok, yaitu Umayi yang cantik jelita sekaligus sakti dan sebagai Durga yang jahat, pembunuh dan pembawa malapetaka. Semua itu terjadi akibat ulah suaminya, Batara Guru, atas dirinya.
Pengarang dalam pemilihan judul Durga Umayi mempunyai latar belakang. Hal ini terlihat pada bagian cerita di dalam novel. Walaupun penjelasan ini tidak secara terang-terangan menjelaskan mengenai judul novel, tetapi bagian novel ini dapat menjadi gambaran mengenai alasan pengarang memilih judul Durga Umayi. Berikut kutipannya:
Tetapi bagaimana seandaianya perwira Gurka tampan muda dari suku India yang tersohor jago-jago kelahi tahu kepalanya dipenggal oleh tangan-tangan perempuan? Oleh seorang Batari Durga? Ah, benarkah Iin Linda Pertiwi sekarang sudah menjadi pengejawantahan Batari Durga yang dulu Dewi Uma sakti sani santing cantik, istri Batara Guru penguasa Kayangan itu? […]
Dari kutipan di atas sebenarnya merupakan kutipan beberapa pertanyaan yang dimunculkan oleh pengarang. Pertanyaan-pertanyaan ini akan memunculkan pemaknaan tersendiri bagi pembacanya. Pada bagian novel sebelum kutipan di atas, diceritakan mengenai tokoh Tiwi. Pada bagian selanjutnya dari penggalan di atas, diceritakan mengenai Batara Guru dan Dewi Uma yang saling mengutuk hingga Dewi Uma menjadi Batari Durga. Pengarang menginginkan tokoh Tiwi menjadi sosok Dewi Uma sekaligus tokoh Durga.
Selain itu, novel ini juga menggunakan beberapa buku sebagai referensi penyusunan cerita. Pengarang juga menambahkan catatan kaki untuk beberapa peristiwa yang ia ambil dari sumber tertentu. Berikut kutipannya:
[…] kelak diberitakan ia meminjam seekor kuda dokar dari desa didekat peristiwa, lalu naik kuda masuk Bandung Selatan ke Jalan Kepatihan, tempat Komando Devisi III Priangan, berhenti di sana, dan meletakkan kepala penggalan itu di meja Panglima Devisi, lengkap dengan tanda pangkat dan pita-pita tanda jasanya selama Perang Dunia II; maka sejak itu Tiwi kadang-kadang diperbolehkan mengawal Panglima Devisi bila sedang berdinas dengan duduk di atas kap mesin mobilnya […]
Kutipan di atas diberikan catatan kaki oleh pengarang kepada sebuah keterangan yang tertulis di bagian bawah halaman 61, yaitu Kejadian historis, lihat Jend. Dr. A. Haris Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, jilid 1, edisi II, cet.1, 1990, hal.211.



4.       Majas
Majas adalah bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh para pembaca atau penulis untuk menjelaskan gagasan mereka (Tarigan, 1985:179). Majas menyebabkan karya sastra menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, lebih hidup, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan.
4.1     Majas Personifikasi
Personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Pada novel ini, Mangunwijaya menggunakan beberapa personifikasi. Berikut kutipannya:
[…] ibunya dalam waktu singkat dua hari saja meninggal dibantai penyakit sampar bisul yang pernah merajalela sebentar di beberapa daerah pada tahun-tahun pendudukan yang serba kekurangan itu […]
Pada kutipan di atas, pada bagian dibantai penyakit sampar bisul pengarang memaparkan tentang penyakit sampar bisul yang membantai seorang ibu. Padahal secara logika yang bisa membantai adalah manusia. Pengarang memaparkan hal itu agar cerita tersebut lebih hidup.
[…] berkali-kali terdengar suaranya yang merdu mengalun mengayun maupun berguruh berguntur bergetar bergelegar melalui kotak-kotak radio yang waktu itu disegel […]
Pada kutipan di atas, pada bagian suaranya yang merdu mengalun mengayun pengarang memaparkan suara yang bisa mengayun. Apakah suara itu benar-benar bisa mengayun, pasti tidak. Yang bisa mengayun hanyalah manusia.



4.2     Majas Hiperbola
Majas hiperbola digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal dengan berlebihan juga. Majas ini digunakan untuk memberikan gambaran tentang sesuatu sehingga mampu memberikan efek yang lebih mendalam. Berikut kutipannya:
[…] pesona Ken Dedes terasa oleh beliau tidak sebagai negarawan tetapi sebagai manusia penyambung organ jutaan rakyat penghuni puluhan ribu pulau […]
Pada kutipan di atas, pengarang menggambarkan pesona Ken Dedes bahwa ia tidak sebagai negarawan tetapi sebagai manusia penyambung organ jutaan rakyat penghuni ribuan pulau. Frasa penyambung organ jutaan rakyat dapat dimaknai sebagai pahlawan yang mempersatukan rakyat waktu itu.
[…] akan tetapi toh pernah memberanikan juga terjun ke dalam kawah Revolusi Besar lewat suatu proklamasi yang dipertaruhkan dengan bengawan darah dan air mata […]
Pada kutipan di atas dapat di simpulkan bahwa Revolusi Besar digambarkan seperti sebuah kawah dan saat tokoh mengkuti aktivitas dalam Revolusi Besar itu digambarkan dengan mempertaruhkan darah dan air mata. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat berlebihan.
4.3     Majas Repetisi
Majas repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata atau frasa. Berikut kutipannya:
[…] pokoknya pergi dari dunia perang dan pembunuhan dan pembakaran dan perkosaan dan perampasan dan sekian banyak ibu bingung anak-anak menangis cemas lapar terluka terkapar terbunuh […]
Pada kutipan diatas terdapat kata dan yang diulang-ulang. Hal ini untuk menegaskan bahwa Tiwi dan pasukannya akan pergi entah kemana meninggalkan wilayahnya.
Perasaan Tiwi yang terkagum-kagum dituangkan pengarang dengan pengungkapan majas repetisi. Berikut kutipannya:
Maka terkagum-kagumlah hati Dik Tiwi, betapa beberapa goresan kuas sungguh dapat berbicara dan berbisik merintih dan tertawa gila, suatu dunia yang ternyata lebih real daripada yang real kita lihat dengan mata telanjang, karena manusia tidak pernah melihat dengan lensa kaca dan fil seluloid biasa: segala-gala direkam dijiplak dungu, tetapi dengan hati dengan perasaan dengan tradisi dengan agama dengan pandangan semesta dengan nafsu dan dambaan hati dengan tafsiran dan sentimen dan pemberian arti, dengan air mata maupun gertak gigi […]
Pada kutipan di atas, kata dengan diulang-ulang dengan tujuan mengintensifkan maksud bahwa perasaan Tiwi yang kagum di dorong oleh hal-hal yang ia punya.
4.4     Majas Retoris
Retoris adalah gaya bahasa penegasan yang berupa pertanyaan yang jawabannya sudah terkandung dalan deretan kata-kata itu. Biasanya retoris digunakan untuk menanyakan hal-hal yang tidak perlu dikemukakan jawabannya. Penggunaan retoris pada novel ini adalah untuk menarik perhatian pembaca agar ikut berfikir mengenai masalah yang ada dalam cerita. Berikut kutipannya:
[…] untung istrinya tidak marah dan cemburu sebab bukankah punyo metropolitan itu adik kandungnya sendiri, kembar-dampit tetapi lain nasib? […]
Pada kutipan di atas, pengarang memunculkan pertanyaan mengenai tindakan istri Kang Brojol yang tidak marah dengan Tiwi, yang jelas-jelas berbeda nasib dalam segi material dalam hidup.
4.5     Majas Sarkasme
Majas sarkasme adalah majas sindiran yang terkasar serta langsung menusuk perasaan. Majas ini ditemukan dalam percakapan-percakapan saat konflik terjadi. Fungsi majas ini dalam novel ini adalah untuk menjelekkan tokoh lain yang sedang mengalami konflik dengan tokoh tersebut. Atau juga penggunaan sarkasme adalah untuk menjelekkan diri sendiri. Berikut kutipannya:
Istrinya sendiri malahan lebih membuat Kang Brojol minder akibat olok-oloknya: mengapa adiknya begitu rupawan, kekar seperti Indo, dengan sosok berukuran proporsional antara pantat, pinggang, dan dada yang begitu sempurna terkombinasi dengan wajah amerika […]
Pada kutipan di atas, pengarang mempertegas olok-olok istri dari Kang Brojol. Istrinya heran kenapa adik kembar-dampit dari Kang Brojol lebih rupawan ketimbang Kang Brojol. Istrinya heran kenapa tidak sama rupawannya Kang Brojol dengan Tiwi, yang jelas-jelas satu kandungan.
4.6     Majas Simile
Majas simile adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding. Majas ini berfungsi sebagai pembanding dua hal dengan memanfaatkan kata penghubung tertentu, seperti bagai, bagaikan, seperti, laksana, dan lain sebagainya.
[…] dalam lubuk hatinya masih menyimpan rasa bagaikan butiran mutiara dalam kerang, jiwa sosiawati darmawati yang lembut penuh pengertian dan damba cinta […]
Kutipan di atas menjelaskan bahwa rasa yang tersimpan dalam lubuk hati digambarkan menyerupai butiran mutiara dalam kerang. Hal ini ditegaskan oleh klausa berikutnya yaitu rasa itu menumbuhkan jiwa sosial dan dermawan.
[…] di lokasi-lokasi itulah Cik Bi benar-benar merasa diri seperti ikan lumba-lumba di lautan maluku, lalu berkembanglah dada pesonanya maupun gejolak bahagia gairahnya […]
Pada kutipan di atas digambarkan perasaan pada diri Cik Bi. Perasaannya digambarkan menyerupai tingkah seekor lumba-lumba di lautan maluku. Hal ini yang mengakibatkan kalimat berikutnya, yaitu dirinya menjadi bahagia.
Obrus anak Kebumen Kedu yang lugas lugu yang bernaluri adil seperti anak tidak akan mengutuk Legimah hanya karena dia mencari nafkah dengan tidur bersih necis dalam kamar bagus […]
Kutipan di atas menggambarkan tokoh Obrus yang mempunyai sifat adil. Anak itu digambarkan tidak akan mengutuk Legimah, walaupun dia mencari nafkah dengan tidur dengan orang lain.
4.7     Majas Klimaks
Majas klimaks adalah gaya bahasa untuk menuturkan satu gagasan atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana meningkat kepada gagasan atau hal yang lebih kompleks. Berikut kutipannya:
[…] dan tentu saja seperti biasanya sesudah disergap, dihardik, diancam, diantar ke biro NEFIS untuk diperiksa, artinya dituduh mengacau dicap komunis subversif teroris […]
Kutipan di atas dijelaskan oleh pengarang mengenai pengalaman yang diterima Tiwi ketika Tiwi kepergok pasukan patroli. Perlakuan yang diterima Tiwi dijelaskan oleh pengarang secara berulang dengan mengunakan kata-kata yang semakin meningkat yaitu disergap, dihardik, diancam, dan diantar. Awalan di- ini menegaskan mengenai perlakuan yang diberikan oleh petugas patroli.
4.8     Majas Metafora
Majas metafora adalah majas perbandingan hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding. penggunaan metafora dalam novel ini berfungsi untuk membandingkan dua hal secara singkat dan mampu menggambarkan apa yang sedang terjadi atau mampu menggambarkan apa yang dibandingkan itu. Berikut kutipannya:
[…] dan sungguh memang sungguh mengherankan, wajah Tiwi sejak 11 Maret 1966 itu sudah bermetamorfosa menjadi lain sama sekali, dulu si jelita asli Jawa Tengah Tidar Progo dan Elo, tetapi sekarang ada kesan amoinya atau bumbu-bumbu selera Indo yang begitu khusus, sehingga bisa ditafsir gadis Makao campur Portugis […]
Pada kutipan di atas, pengarang menjelaskan mengenai wajah Tiwi yang berubah derastis setelah mengalami operasi. Secara tidak langsung pengarang membandingkan wajah Tiwi sebelum dioperasi dengan sesudah dioperasi.
Mungkin Madame Nussy tergolong jenis yang oleh orang-orang Perancis dari negeri troubadour disebut femme fatale, akan tetapi kita harus selalu sadar bahwa konteks Indonesia sama sekali lain dari apa yang dianalisis oleh para ahli di negeri-negeri seberang apalagi Barat […]
Kutipan di atas adalah penggambaran mengenai Madame Nussy. Ia digambarkan sebagai seorang femme fatale yaitu seorang wanita pembawa sial. Hal itu dibandingkan dengan keadaan konteks di Indonesia yang berbeda dengan di Barat. Di Indonesia seorang biduan (troubadour) tidak dianggap sebagai pembawa sial.
4.9     Majas Ironi
Majas ironi adalah majas sindiran yang melukiskan sesuatu dengan menyatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya dengan maksud untuk menyindir orang. Dalam novel ini, ironi berfungsi sebagai penggunjingan terhadap tokoh tertentu. Berikut kutipannya:
Apa sih lelaki itu kok merasa diri donor yang memberi donor yang memberi tulang rusuk untuk dijadikan bahan wanita, padahal cuma gumpalan daging koyor bukan malaikat bukan binatang dengan dada-dada kempes kerempeng tidak punya susu atau air setetes pun yang dapat memberi kehidupan kepada makhluk mungil […]
Pada kutipan di atas, pengarang mengejek para kaum lelaki. Lelaki hanyalah bahan yang dijadikan untuk wanita dan fisiknya pun jelek (dadanya terepes dan tidak mempunyai susu yang bisa memberi asi kepada anaknya).

E.      PENUTUP
Dari analisis yang dilakukan pada novel Durga Umayi dengan pendekatan stilistika, didapati beberapa temuan sebagai berikut:
1.      Diksi yang digunakan sebagai pilihan pembangun novel ini cukup beragam.
a.       Pengarang menggunakan pilihan leksikal dari bahasa asing, seperti: bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Perancis, dan bahasa Jawa.
b.                  Pengarang juga menggunakan istilah. Banyak nama tokoh pahlawan dan tokoh sejarah Indonesia dipergunakan dalam novel ini. Ada pula penggunaan istilah dari bahasa Jepang yaitu heiho.
c.       pengarang juga menggunakan akronim.

2.      Gaya Kalimat yang ditemui meliputi struktur kalimat dan citraan dalam kalimat.

a.       Kalimat-kalimat dalam novel ini memang kurang wajar apabila dibandingkan dengan kalimat pada umumnya. Kalimat-kalimat dalam novel ini jika digolongkan ke dalam kalimat majemuk memang kurang pas, karena kalimat dalam novel ini hampir seluruhnya kurang wajar. Ada beberapa paragraf yang hanya terdiri dari satu kalimat saja.
b.       Dalam novel ini, pengarang menggunakan kalimat dalam bahasa asing. Pengarang mencantumkan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang diletakkan di dalam tanda kurung yang berada samping kalimat itu.
c.       Citraan yang ditemukan pada novel ini antara lain citran penglihatan, citraan pendengaran, dan citraan gerak.
3.       Novel ini mempunyai ciri khas tersendiri dari novel lain.
a.       Bagian awal novel disisipkan bagian yang diberi judul Prawayang yang berisi jalinan kata-kata yang ditulis dalam berbagai bahasa.
b.       Kunci untuk menerangkan garis besar Durga Umayi sebenarnya dapat ditemukan dari judulnya, yaitu Durga Umayi. “Durga Umayi” berasal dari dua nama “Dewi Umayi” dan “Batari Durga”. Pengarang dalam pemilihan judul Durga Umayi mempunyai latar belakang. Hal ini terlihat pada bagian cerita di dalam novel. Walaupun penjelasan ini tidak secara terang-terangan menjelaskan mengenai judul novel, tetapi bagian novel ini dapat menjadi gambaran mengenai alasan pengarang memilih judul Durga Umayi.
c.       Novel ini menggunakan beberapa buku sebagai referensi penyusunan cerita. Pengarang juga menambahkan catatan kaki untuk beberapa peristiwa yang ia ambil dari sumber tertentu.
4.       Majas yang ditemukan pada novel ini, antara lain: majas personifikasi, majas hiperbola, majas repetisi, majas retoris, majas sarkasme, majas simile, majas klimaks, majas metafora, dan majas ironi.


0 komentar: