UPAYA
MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENDONGENG PADA SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN MEDIA
WAYANG KARDUS UNTUK MENUMBUHKAN NILAI KARAKTER SISWA
Oleh: Ardian
As’at
Abstrak
Mendongeng merupakan salah satu upaya menanamkan nilai-nilai luhur
pada anak. Lewat mendongeng, nilai-nilai keutamaan (moral, budi pekerti,
kejujuran, kebaikan, kemandirian, atau keagamaan dan lain-lain) bisa ditanamkan
kepada anak-anak dengan mudah. Melalui dongeng pula anak-anak belajar
mengembangkan imajinasi, mengekspresikan diri, menumbuhkan rasa humor,
memperluas cakrawala emosional, dan memetik pesan yang tersirat di balik
dongeng.
Kata kunci: Mendongeng, Wayang kardus, Nilai berkarakter
Pendahuluan
Indonesia
adalah negara yang kaya akan dongeng, khususnya dongeng yang ditujukan untuk
anak-anak. Masing-masing wilayah di Indonesia memiliki koleksi dongeng yang
mengandung nilai kearifan lokal di dalamnya. Tengok saja dongeng Timun Mas dari Jawa Tengah, Si Kabayan dari Jawa Barat atau juga Pengeran Si Katak-katak dari Sumatra
Utara. Sampai saat ini, dongeng masih memiliki tempat di hati anak-anak
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kemasan dongeng yang merupakan perpaduan
antara unsur hiburan dengan pendidikan.
Unsur
pendidikan ditujukan melalui pesan yang dimuat, baik melalui cerita yang
terakhir dengan kebahagiaan maupun kesedihan. Inti dari sebuah dongeng dapat
dijadikan bahan perenungan bagi audiensinya. Unsur hiburan merupakan “bumbu
penyedap” supaya penyampaian dongeng tidak menimbulkan kebosanan, bisaanya
dengan dialog interaktif antara pendongeng dengan audience atau dengan
humor. Karena jika terjadi kebosanan terhadap anak, maka anak akan tidak minat
untuk mempelajari apa itu dongeng. Jangankan mempelajari, mendengarkannya saja
sudah malas. Sehingga nilai-nilai karakter yang terkandung di dalamnya tidak
bisa disampaikan.
Meningkatkan
bahkan menumbuhkan nilai-nilai karakter pada anak, sedang gencar-gencarnya
dilakukan oleh bangsa ini. Bangsa ini sudah cukup parah, jika generasi
penerusnya kelak tidak mempunyai nilai-nilai yang berkarakter. Tentunya
menumbuhkan nilai-nilai berkarakter pada anak tidaklah mudah. Banyak faktor
yang menghambat bahkan mematikan nilai-nilai berkarakter tersebut. Butuh pengajaran
yang kontinue dari berbagai pihak, mulai dari keluarga, lingkungan tempat
tinggal anak berada, hingga sekolah.
Sekolah merupakan tempat
penumbuhkembangan karakter dan budaya yang baik (Kastam Syamsi 2008). Salah satu penumbuhan nilai
berkarakter di sekolah dapat diajarkan melalui sastra. Ketika pembelajar
membaca sebuah karya sastra, mereka akan menemukan nilai budaya yang terkandung
di dalamnya, dongeng salah satunya. Menurut pengamatan peneliti dongeng sangat
baik digunakan dalam pembelajaran, karena siswa akan lebih tertarik dengan
adanya dongeng dalam pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pandapat Abdul Aziz
Abdul Majid (2002: 30) yang mengatakan bahwa dongeng dapat meningkatkan
kemampuan berbicara pada anak. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan
walaupun banyak juga melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral) bahkan
sindiran.
Akan tetapi dalam penerapannya,
ketika anak diintruksikan untuk mendongeng, banyak kendala yang dihadapi.
Kurangnya pengetahuan anak mengenai cerita yang akan diceritakan, hingga tidak
ada media yang mendukung untuk mengkonkritkan apa yang masih abstrak dipikiran
anak menjadi faktor-faktor penyebab. Dengan begitu akan mengakibatkan efek
kejenuhan siswa dalam mengikuti mata pelajaran bahasa Indonesia, khususnya sastra
karena kebanyakan guru menggunakan atau mengajarkannya hanya dengan metode
ceramah. Sehingga kemampuan anak dalam berbicara, rendah (Eka Ratnawati 2010).
Seperti yang terjadi di desa Sunan Ampel, Blotongan, Salatiga. Anak-anak di
sana, ketika ditanyakan mengenai cerita rakyat setempat, tentang Baruklingting
misalnya. Hampir seluruhnya tidak mengetahui cerita tersebut. Begitu
memprihatinkan memang, cerita yang terjadi di sekitar tempat tinggal mereka sendiri
saja tidak mengetahuinya, bagaimana dengan cerita-cerita lain yang ada
diberbagai daerah yang tentunya memiliki nilai-nilai moral tinggi di dalamnya.
Salah satu upaya dalam mengatasi dan
berupaya untuk meningkatkan kemampuan mendongeng, yaitu menggunakan media
wayang kardus. Sering kali kita menganggap wayang merupakan sesuatu yang
membosankan dan kuno, akan tetapi wayang yang sarat filosofi ini dapat
dikembangkan menjadi media kampanye dan pendidikan lingkungan yang menarik.
Wayang yang tadinya dibuat dari kulit sapi kini dikembangkan. Bahan dasar
pembuatannya terbuat dari kardus bekas, sehingga mudah diaplikasikan oleh semua
orang termasuk oleh guru bahasa Indonesia.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai
berikut.
1. Bagaimanakah strategi untuk meningkatkan keterampilan mendongeng
anak?
2. Seperti apakah strategi dalam mendongeng untuk dapat
menumbuhkembangkan pendidikan
berkarakter?
3. Seperti apa keefektifan media wayang kardus ?
Berdasarkan rumusan masalah
tersebut, diharapkan penerapan media wayang kardus sebagai media kreatif, mampu
membantu guru dan siswa khususnya dalam keterampilan mendongeng. Serta sebagai
sarana pemanfaatan barang bekas berupa kardus menjadi sebuah karya kreatif.
Manfaat yang diperoleh
dalam tulisan ini dapat dilihat dari dua segi. Yakni segi teoretis dan praktis.
Dari segi teoretis program ini bermanfaat untuk: (a) meningkatkan keterampilan
mendongeng siswa; (b) menumbuhkan pemahaman siswa akan cerita-cerita rakyat yang berkembang di
Indonesia. Sedangkan dari
segi praktis, tulisan ini bermanfaat untuk: (a) Menumbuhkan kreativitas
khususnya guru dalam menyediakan sebuah media pembelajaran yang kreatif; (b)
pemanfaatan barang bekas menjadi sebuah media pembelajaran; (c) menumbuhkan
nilai-nilai berkarakter siswa.
Dongeng
dan Mendongeng
Dongeng dan budaya
mendongeng telah berkembang di Indonesia sejak zaman dulu. Perkembangan dongeng
pada awalnya hanya terbatas di lingkungan kerajaan dan dilakukan oleh orang
yang benar-benar mahir mengdongeng. Perkembangan selanjutnya, dongeng
disampaikan oleh para orang tua kepada orang yang lebih muda atau anak-anaknya.
Lingkupnya pun tak hanya di lingkungan kerajaan, tetapi
sudah lebih luas lagi seperti di lingkungan masyarakat pada umumnya. Cerita
yang disampaikan biasanya berupa cerita rakyat yang berkembang pada saat itu,
seperti mite, legenda, atau dongeng. Menurut James Danandjaja dalam bukunya Foklor
Indonesia- Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, dongeng termasuk
cerita rakyat lisan yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya
cerita. Dongeng juga tidak terikat oleh tempat maupun waktu, karena dongeng
diceritakan terutama untuk menghibur. Meskipun demikian, banyak pula dongeng
yang berisi ajaran moral, melukiskan kebenaran, bakhan ada pula yang mengandung
sindiran.
Sedangkan dalam KBBI (2002: 274) yang dimaksudkan dengan dongeng adalah 1) cerita terutama kejadian zaman dahulu yang aneh-aneh atau cerita yang tak terjadi benar, 2) perkataan (berita dan sebagainya) yang bukan-bukan terjadi, baik oleh penuturnya maupun oleh pendengarnya. Dongeng tidak terikat oleh ketentuan tentang pelaku, tempat, dan waktu terjadinya boleh kapan saja dan tempat terjadinya dapat di mana saja (Depdikbud 1980: 61).
Sedangkan dalam KBBI (2002: 274) yang dimaksudkan dengan dongeng adalah 1) cerita terutama kejadian zaman dahulu yang aneh-aneh atau cerita yang tak terjadi benar, 2) perkataan (berita dan sebagainya) yang bukan-bukan terjadi, baik oleh penuturnya maupun oleh pendengarnya. Dongeng tidak terikat oleh ketentuan tentang pelaku, tempat, dan waktu terjadinya boleh kapan saja dan tempat terjadinya dapat di mana saja (Depdikbud 1980: 61).
Merujuk pada
pengertian di atas, bisa dikatakan bahwa cerita-cerita di dalam dongeng
semata-mata hanyalah khayalan. Akan tetapi, sekalipun kita bercerita tentang
hal-hal yang bersifat khayal, kita
tidak boleh berdusta. Yang ingin kita sampaikan bukan tentang khayal atau
bohongnya, tetapi nilai-nilai luhur di balik cerita dalam dongeng (khayal)
tersebut.
Kita juga tidak
pernah tahu siapa yang mengarang atau mencipta dongeng tersebut. Bahkan dongeng
sering dianggap tidak ada pengarang atau pencipta alias ‘no name’. Mengingat
cerita-cerita dalam dongeng itu semata-mata adalah ‘khayalan’ atau ‘bohongan’
atau ‘bualan’, maka sudah selayaknya kita berhati-hati dan perlu ada keberanian
untuk mengungkap hal-hal kebenaran, sekalipun itu melalui sebuah cerita
khayalan atau bohongan. Yang justru harus kita pupuk adalah rasa simpati dan
harapan positif terhadap dongeng sehingga kita akan mendapat banyak manfaat dari mendongeng.
Mendongeng di
Sekolah
Bila kita
mendengarkara ‘dongeng’ atau tahu ada kegiatan mendongeng, maka yang pertama
kali terpikirkan adalah sesuatu yang berhubungan dengan anak-anak. Namun, pada
kenyataannya, setiap kali digelar pertunjukan/ acara mendongeng, tidak hanya
anak-anak saja yang tertarik. Setiap orang tua yang ada di sekitar tempat
pertunjukan mendongeng itu pun ikut hanyut dan tertarik. Bahkan tidak heran
bila semua yang hadir ikut tenggelam dalam suasana dongeng yang dibawakan oleh
si pendongeng.
Hal itu
membuktikan bahwa tak hanya anak-anak yang tertarik akan dongeng. Para orang
tua pun senang mendengarkan dongeng. Semakin hari semakin
banyak orang yang mau belajar mendongeng. Kegiatan mendongeng di sekolah ini
biasanya dilaksanakan di aula ataupaun ruang kelas. Dengan demikian, si
pendongeng bisa mendongeng sekaligus menyampaikan misi/ pesan dari sekolah agar
anak-anak semakin gemar membaca dan semakin mengoptimalkan penggunaan buku-buku
di perpustakaan, misalnya. Dengan membaca, si anak akan memahami logika
berbahasa dengan lebih mudah.
Dan lebih dari itu
semua, dongeng juga diyakini dapat mengembangkan kemampuan berimajinasi. Selain
itu, dongeng juga sangat efektif untuk memotivasi daya kreasi anak. Satu hal
lagi, dongeng juga merupakan sarana pembelajaran nilai-nilai moral bagi anak.
Karena itulah, kalau memang si anak lebih cepat menangkap pelajaran lewat
dongeng, tak ada salahnya apabila para guru menyampaikan materi dengan
(diselingi) mendongeng. Cara ini tentu akan lebih menarik dan si anak pun
merasa lebih enjoy untuk belajar. Para guru pun bisa lebih rileks karena
tak harus selalu menyampaikan materi pelajaran dengan cara-cara formal dan kaku
yang membuat si anak merasa cepat bosan.
Daya
Pikat Dongeng
Dongeng tak hanya
penting dan bermanfaat bagi kita. Kita tak dapat menyangkal bahwa dongeng juga
memiliki daya pikat dan pengaruh
yang luar biasa besar. Apabila dilengkapi dengan kemampuan si pendongeng yang
membawakan dongengnya dengan piawai dan hebat, dongeng bisa menjadi alternatif
hiburan yang penuh pesona. Sudah barang tentu kemampuan si pendongeng ini akan
menjadi hal yang paling istimewa. Anak-anak pun akan merasa terkesan setelah
mendengarkan dongeng.
Untuk menciptakan daya pikat dalam mendongeng, seorang pendongeng
harus mampu mengail perhatian audiensnya dengan mengandalkan suara-suaranya yang
beraneka ragam. Bisa juga dengan mengemas gaya punggung (gaya teater) dan gaya
bisu (pantonim) secara lebih ekspresif. Atau dilengkapi dengan kemampuan lain
yang dimiliki. Dengan demikian, mendengarkan dongeng tak hanya menangkap suara
si pendongeng, tetapi juga menikmati gaya, gerak, ekspresi, serta kemampuan
lain seperti menari, menyanyi, bahkan berain alat musik.
Banyak pula
pendongeng yang mengembangkan daya pikat dongeng dengan penampilan penuh
karisma dilengkapi peralatan-peralatan yang bagus dan sempurna,
misalnya dengan boneka. Sebagai contoh, Gatot Soenjoto dan boneka Tongki-nya,
Ria Enes dan boneka Susan-nya. Mereka sangat mahir memainkan dan menyuarakan
boneka-bonekanya. Tampil mendongeng dengan hebat dan memikat merupakan hal yang
sangat menggembirakan.
Saat ini anak-anak
telah mengenal CD/ DVD dan segala perangkat audio visual interaktif yang telah
diprogram dengan berbagai macam permainan dan cerita yang bisa dipilih sesuka
hati. Begitupun dengan acara-acara di televisi yang disuguhkan di berbagai channel.
Sepertinya pilihan untuk sekadar memuaskan keinginan si anak untuk bermain
amat beragam.
Namun demikian,
tradisi lisan dalam dongeng akan tetap memiliki dan menimbulkan kekuatan
imajinatif, karena anak-anak berhadapan langsung dengan si pendongeng. Dengan
cara ini, anak-anak dapat mendengar secara langsung tiap-tiap kata yang
diucapkan, serta memandang langsung ekspresi-ekspresi serta gaya si pendongeng
yang akan menghanyutkan perasaan serta imajinasi mereka dalam alur dongeng yang
didengarnya secara lisan.
Hal inilah yang
tidak bisa didapatkan anak-anak bila sedang menonton televisi. Mereka hanya
mendengar sekilas, menatap sesaat, atau bahkan mungkin hanya melihat bentuk dan
warna saja tanpa bisa memahami isi cerita karena ucapan si tokoh yang terlalu
cepat sehingga maksudnya pun tidak jelas. Bahkan, sering sebuah acara atau
cerita terpenggal hanya gara-gara ‘si iklan’ lewat.
Berkaitan dengna
hal tersebut, Margaret Read MacDonald (pendongeng asal Seatle dan penulis buku
anak-anak) mengatakan, “Ketika Anda mendongeng kepada anak-anak, Anda akan
merasakan hanya ada anak-anak di mata Anda dan Anda di mata mereka.” Artinya,
dongeng memang memiliki kekuatan untuk menjalin keintiman antara pendongeng
dengan pendengarnya. Dan dengan keintiman seperti itu, tak heran jika pesan
akan lebih mudah disampaikan.
Wayang Kardus Sebagai Media Mendongeng
Selama ini, indera utama yang
difungsikan ketika kita bercerita dengan mulut adalah pendengaran. Untuk
mencapai hasil yang lebih tinggi dalam belajar mengajar, hendaknya kita juga
merangsang indera-indera yang lainnya yang ada pada pendengar kita. Karena itu,
alat bantu dalam bercerita sangat diperlukan. Alat bantu ini biasanya disebut
alat peraga.
Alat peraga dapat membantu kita untuk
merangsang indera-indera lain yang ada pada pendengar kita, misalnya pelihat,
peraba, bahkan pencium atau pembau dan pengecap. Perlu kita upayakan agar alat
peraga yang kita gunakan dapat menjadi sarana yang mendorong pendengar untuk
berpartisipasi secara aktif dalam bercerita dan bukan hanya sekadar duduk diam
dan mendengarkan cerita dengan pasif. Dengan berpartisipasi secara aktif,
pendengar merasa dirinya terlibat di dalam cerita sehingga mereka seolah-olah
melihat sendiri peristiwa yang terjadi dalam cerita yang disampaikan. Jika
pendengar kita adalah anak-anak, maka alat peraga hendaknya dapat membantu
mereka untuk mengembangkan daya imajinasinya yang tinggi.
Alat peraga dapat berupa apa saja dan
dibuat dari bahan apa saja. Namun, ingatlah bahwa pemilihan jenis bentuk dan
bahan hendaknya disesuaikan dengan usia anak. Misalnya, anak batita memerlukan
alat peraga yang berukuran besar, berwarna menarik, dan terbuat dari
bahan-bahan yang aman (tidak tajam, berbau atau beracun); sedangkan alat peraga
untuk anak tanggung, dapat dirancang sedikit lebih rumit atau dengan detil yang
lebih khusus. Wayang kardus misalnya. Wayang merupakan warisan budaya leluhur
yang patut dilestarikan. Wayang juga sarat dengan pendidikan karakter dari tiap
cerita yang dibawakan oleh dalangnya. Kehadiran wayang kardus sebagai media
mendongeng untuk anak sekolah dasa sangatlah tepat, karena selain
memperkenalkan kepada anak tentang dunia pewayangan, guru juga bisa
memanfaatkan barang-barang bekas yang kurang terpakai untuk dijadikan sebuah
media pembelajaran yang mempunyai nilai seni tinggi. Tentunya guru juga bisa
memodifikasi wayang dengan cerita yang akan dibawakan, sesuai dengan target
sasaran siswa dan wilayah tempat tinggal siswa. Sehingga siswa mampu
memvisualkan dan mengkonkritkan sebuah cerita dongeng yang dibawakan oleh guru.
Juga sebagai langkah memopulerkan kembali wayang dan budaya ‘mendalang’ bagi
generasi penerus bangsa.
Dampak Positif Mendongeng Bagi
Perkembangan Anak
Mendongeng dan didongengi merupakan kegiatan yang sama-sama menyenangkan. Kegiatan mendongeng sebenarnya sudah secara langsung memberi kontribusi positif bagi anak. Mendongeng merupakan hiburan yang penuh arti, juga sebagai ajang komunikasi yang efektif dan akrab dengan anak-anak. Tak hanya itu, mendongeng juga memberi manfaat dan dampak positif bagi orang tua, guru atau siapa pun yang menjadi pendongengnya. Karena itulah, agar mendongeng memberikan dampak yang positif dan mampu menyampaikan pesan moral dengan baik, maka setiap orang tua, guru atau siapa pun yang mendongeng butuh trik-trik dalam menyampaikan dongeng.
Mendongeng dan didongengi merupakan kegiatan yang sama-sama menyenangkan. Kegiatan mendongeng sebenarnya sudah secara langsung memberi kontribusi positif bagi anak. Mendongeng merupakan hiburan yang penuh arti, juga sebagai ajang komunikasi yang efektif dan akrab dengan anak-anak. Tak hanya itu, mendongeng juga memberi manfaat dan dampak positif bagi orang tua, guru atau siapa pun yang menjadi pendongengnya. Karena itulah, agar mendongeng memberikan dampak yang positif dan mampu menyampaikan pesan moral dengan baik, maka setiap orang tua, guru atau siapa pun yang mendongeng butuh trik-trik dalam menyampaikan dongeng.
Hadirnya tokoh-tokoh di dalam cerita
yang disajikan mampu membangkitkan daya imajinasi anak. Selanjutnya dengan daya
imajinasinya si anak akan memproses cerita dan kemungkinan mengidentifikasi si
tokoh dalam diri si anak. Misalnya, si Timi tikus yang cerdik, si Kancil yang
cerdik, si buaya yang jahat, Puteri Sriwedari Loro yang rendah hati, dan
lain-lain. Semua itu diharapkan dapat merangsang pembentukan pribadi yang
positif khususnya bagi si anak. Sedangkan dampak negatif dari sebuah dongeng
penulis rasa tidak ada. Kalaupun ada, rasanya sangat kecil kemungkinannya.
Berikut ini beberapa dampak posotif mendongeng bagi perkembangan anak.
a.
Mengembangkan
daya imajinasi, kreativitas, dan kemampuan berpikir abstrak bagi anak
Pada dasarnya anak memang biasa
membayangkan dan “menghidupkan” suatu kejadian dalam fantasinya. Apa yang
dibayangkannya seolah-olah menjadi kenyataan. Misalnya, ketika anak
membayangkan sedang berada di bulan, maka ia akan merasakan seperti sedang
melayang-layang. Kemudian ia akan berjalan berjinjit-jinjit, membungkuk, lalu
tegak lagi, seperti sedang melayang.
Artinya, pada batas-batas tertentu
kemampuan imajinasi dan abstraksi yang baik dapat berkembang pada keajaman
dalam menganalisis suatu peristiwa secara komprehensif sehingga dapat mendorong
serta melahirkan perkembangan kreativitasnya.
Dengan demikian, dongeng mampu
mengembangkan daya imajinasi anak dengan membayangkan seolah-olah ia bisa
terbang. Kemudian daya kreativitasnya muncul seiring dengan mengaitkan sarung
atau taplak meja di lehernya. Selanjutnya, si anak akan merasa bahwa ia adalah
seorang Superman yang siap beraksi, sama seperti yang ia lihat di televisi.
b.
Menjalin
interaksi yang akrab antara anak dan orang tua.
Melalui media
mendongeng, sudah semestinya setiap orang tua atau
guru akan dapat menjajaki pemahaman anak tentang sesuatu hal. Saat mendongeng, sebelum
berhadapan dengan anak, kita tidak tahu kondisi dan pikiran mereka. Namun,
begitu memasuki suasana mendongeng, setidaknya kita akan tahu keadaan si anak,
baik dari sikap, sifat, bahkan sampai ke tabiatnya. Kita bisa melihat langsung
dari ekspresinya, ungkapan-ungkapannya, dan luapan-luapan emosinya. Biasanya
kalau kita sedang mendongeng, dari sejumlah anak yang kita hadapi, akan muncul
juga anak-anak yang berpenampilan beda. Misalnya, anak yang mempunyai sifat
pemalu, pendiam, tempramental, pemberani, atau bahkan yang hanya biasa-biasa
saja.
Atau sebaliknya,
dari anak yang tadinya tidak punya rasa percaya diri, maka pada saat itu akan
berubah menjadi anak yang bisa memiliki kepercayaan diri, walau tidak langsung
100%. Hal ini disebabkan oleh emosi yang muncul saat mendengarkan dongeng, juga
keadaan si anak itu sendiri. Pada umumnya, hal-hal yang terjadi merupakan
hal-hal yang timbul secara spontan dan bukan hal-hal yang dipersiapkan atau
direkayasa.
Dengan adanya
kegiatan mendongeng, maka tidak menutup kemungkinan anak akan menjadi bisa dan
terbiasa serta berani mengungkapkan pendapatnya. Sementara itu, orang tua akan
lebih dapat memahami apa-apa saja yang dipikirkan atau yang diingingkan si
anak. Artinya, melalui aktivitas mendongeng, secara
sadar maupun tidak sadar, kita dapat meningkatkan interaksi dengan anak dan
menjadikan suasana menjadi lebih akrab.
c.
Melatih
kecerdasan emosi dan kepekaan sosial.
Mendongeng juga
merupakan salah satu cara untuk mengajak anak-anak belajar berempati pada
kesusahan atau penderitaan orang lain. Anak juga dilatih agar mampu bersikap
optimis dalam menghadapi masalah. Oleh karena itu, pendongeng atau penutur
cerita diharapkan tidak hanya sekadar jadi penghibur semata dalam menyajikan
dongeng-dongengnya,
tetapi juga harus bisa membawa misi dalam menerapkan pendidikan.
Pendongeng juga diharapkan
pintar membaca hati pendengarnya. Secara halus dan tanpa sadar, sesungguhnya anak
sedang diajarkan dan dibiasakan berlatih agar mengerti dan berusaha tenang
dalam menghadapi dan menerima
berbagai situasi. Hal ini juga akan mengasah kepekaan anak terhadap kepentingan
sosial yang ada.
d.
Meningkatkan
serta menunjang
perkembangan moral
Pada dasarnya,
untuk mengajarkan dan memberikan pemahaman tentang moral pada anak memang bukan
hal yang mudah, walaupun bukan hal yang tabu. Hanya saja, masalah ini masih
merupakan hal yang sulit bagi anak-anak untuk memahami kata-kata yang abstrak,
misalnya mengenai kejujuran, kesetiakawanan, sopan santun, empati, dan segala
yang menyangkut soal moral.
Oleh karena itu,
mendongeng adalah salah satu cara mengajarkan hal tersebut. Saat mendongeng,
kita bisa memiih tema tentang kebaikan yang dialami dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya tentang menolong sesama yang kesusahan atau terkena
musibah. Dengan cara itu kita diharapkan bisa menjelaskan dan mengajak si anak
untuk lebih peduli dengan sesama
secara lebih mudah. Dengan menampilkan tokoh-tokoh yang disukai anak, maka anak
pun akan lebih memerhatikan dongeng yang kita sampaikan. Terangkan juga mengapa
kita harus saling menolong dan saling menghormati. Sebisa mungkin terangkan
hal-hal yang sifatnya abstrak (terutama tentang keutamaan moral) dengan cara
yang lebih mudah agar anak pun bisa mencerna dengan mudah pula.
e.
Menanamkan
motivasi dan proses identifikasi
yang positif
Melalui aktivitas
seperti mendongeng atau membacakan buku-buku dongeng kepada anak-anak, kita
berharap adanya satu perubahan. Anak-anak dapat meniru keteladanan dari
cerita-cerita yang kita sampaikan. Dengan sifat teladan si tokoh diharapkan
anak akan lebih mudah meniru dan
memotivasi dirinya. Demi mewujudkan semua ini, orang tua juga dituntut untuk
selektif dan mengerti akan kepentingan
pada pendidikan anaknya. Oleh karena itu, penokohan dalam sebuah cerita
sangatlah diperlukan untuk menanamkan motivasi berprestasi dalam berbuat baik.
Pada cerita-cerita
yang tokohnya begitu berkesan atau diidolakan si anak, pastinya akan menjadikan
sebuah proses identifikasi yang positif. Misalnya, si anak menokohkan Bima,
Gatotkaca, Pangeran Diponegoro atau lebih dikenal dengan sebutan Pangeran dari
Gua Selarong, Ksatria Garuda Perkasa. Dengan mengidolakan tokoh kesayanganya,
secara tidak langsung si anak pun akan meniru segala yang ada pada si tokoh,
misalnya kostumnya, cara bicaranya, tingkah lakunya, dan sebagainya.
Namun
untuk menyerap pelajaran dengan baik, bercerita saja tidaklah cukup. Penelitian membuktikan bahwa kemampuan
seseorang untuk menyerap (menangkap dan mendengar) pelajaran berbeda-beda,
sesuai dengan alat bantu yang digunakan ketika pelajaran berlangsung. Berikut
adalah skala kemampuan seseorang dalam menyerap pelajaran.
Penutup
a.
Simpulan
Dongeng merupakan
sarana yang efektif untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Dalam keadaan apa pun
dongeng mampu menjadi ‘jembatan’ yang fleksibel untuk menghubungkan harapan
orang tua dengan kemauan/ keinginan anak. Dengan daya pikat yang luar biasa,
dongeng mampu ‘menggiring’ anak agar bisa seperti yang kita harapkan. Apalagi jika kegiatan mendo
Cerita di atas juga menjadi gambaran bahwa dongeng mampu
mengalihkan perhatian anak dan menumbuhkan rasa ingin tahu anak. Asalkan kita
mau dan mampu memilih dongeng yang sesuai untuk anak, niscaya anak akan selalu
berharap untuk bisa selalu bersama kita dan menuruti apa yang kita inginkan.
Bahkan, mereka akan menunggu-nunggu
kehadiran kita di sisi mereka.
b.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Asfandiyar, Andi Yudha. 2007. Cara Pintar Mendongeng. Bandung: Dar! Mizan.
Bunanta, Murti. 2008. Buku Mendongeng dan Minat Membaca. Jakarta: Kelompok
Pecinta bacaan Anak.
Pecinta bacaan Anak.
Priyono, Kusuma. 2006. Terampil Mendongeng. Jakarta: Grasindo.
Simanjuntak, A.L. 2008. Seni Bercerita: Cara Bercerita Efektif.
Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulia.
Gunung Mulia.
0 komentar:
Posting Komentar