ANALISIS NOVEL BELENGGU
BERDASARKAN PENDEKATAN
SOSIOPSIKOLOGIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cipta sastra merupakan kreasi manusia yang terlibat
dalam kehidupan serta mampu menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya.
Sapardi Djokodarmono mengutip pendapat Grebstein, bahwa karya sastra tidak
dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau
kebudayaan. Pendekatan sosiopsikologis adalah suatu pendekatan yang berusaha
memahami latar belakang kehidupan sosial-budaya, kehidupan masyarakat, maupun
tangapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya atau
zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan. Dalam pelaksanaannya,
pendekatan ini memang sering tumpang tindih dengan pendekatan historis. Akan tetapi,
selama masalah yang akan dibahas untuk setiap pendekatan ini dibatasi dengan
jelas, maka ketumpang tindihan itu dapat dihindari.
Novel Belenggu
ditulis oleh Arminjn Pane dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1940. Melalui
apresiasi dengan pendekatan sosiopsikologi, kita dapat mengetahui tetang
kehidupan sosial masyarakat, sosial budaya, dan sikap pengarang pada saat itu
yaitu padatahun 1940-an. Kehidupan sosial masyarakat dari wektu ke waktu selalu
menarik utuk dikaji. Hal ini memberikan gambaran dan pengetahuan tentang apa
yang terjadi pada masyarakat tersebut khususnya tentang kehidupan sosial
budaya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sinopsis novel Belenggu?
2. Bagaimana
kehidupan sosial budaya yang dikisahkan dalam novel Belenggu?
3. Bagaimana
kehidupan masyarakat pada saat novel tersebut diciptakan?
4. Bagaimana
tanggapan pengarang tentang kehidupan masyarakat pada saat itu?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sinopsis Novel Belenggu
Kartono (Tino) dan Sukartini (Tini) adalah pasangan
suami istri yang sudah cukup lama membina biduk rumah tangga. Tono adalah
seorang dokter yang sudah tentu saja dibutuhkan oleh banyak orang, terutama
mereka yang sedang diserang penyakit. Sebagai dokter, Tono dicap dokter
tauladan. Dia mengobati pasien tanpa pandang siapa pasiennya dan kapan
waktunya. Dia juga tidak mementingkan masalah bayaran.
Tini dulu adalah istri yang sedia mendampingi Tono.
Namun kejenuhan itu hinggap dalam sanubari Tini. Menerima telepon dari pasien
dan mencatatnya adalah rutinitas yang mengenyangkan baginya. Kini ia mencoba
menghibur diri. Ia sering keluar malam tanpa izin dan tanpa didampingi
suaminya. Hal tersebut mendapat kecaman dari orang terdekat Tini yang tentu
menganggap hal tersebut adalah tidak benar. Namun Tini ingin merdeka. Dia sudah
lelah menjadi seorang istri yang hanya duduk dia di rumah. Perilaku Tini
tersebut bukan tanpa akibat yang ringan. Kurangnya frekuensi pertemuan antara
ia dan suaminya membuat kisah rumah tangga itu menggantung. Rumah tangga mereka
tidak baik-baik saja. Mereka, walaupun berada dalam satu atap pada waktu yang
bersamaan, tidak pernah saling bercakap. Sebagai seorang suami, Tono merasa
tidak diperhatikan lagi.
Rohayah (Yah) adalah sahabat Tono pada waktu mereka
masih tinggal bersama di Bandung. Mereka terpisah. Tono menempuh jalan manisnya
menjadi seorang dokter. Sedangkan Yah, dipaksa menikah dengan orang yang sama
sekali tidak ia cintai. Yah dibawa suaminya ke Palembang. Kemudian ia berhasil
melarikan diri dan kembali ke Bandung. Namun keluarganya sudah tiada. Akhirnya
ia hidup terkatung-katung dan kemudian menjadi wanita tuna susila. Kejadian
tersebut lah yang menunda keterpaduan cinta mereka yang tumbuh sejak dulu.
Tono bertemu dengan Yah yang menyamar sebagai Nyonya
Eni. Pertemuan tersebut bukan tanpa sengaja melainkan sudah direncanakan oleh
Yah. Akhirnya, Tono pun mengetahui topeng yang Yah gunakan. Yah amat mengasihi
Tono. Tono pun merasakan kedamaian yang tidak ia dapatkan di rumah bersama
istri sahnya. Ia sering bertandang ke rumah Yah, tentu tanpa sepengetahuan
siapapun kecuali supir yang mengantarkan Tono. Tono mendapatkan apa yang ia
idam-idamkan sebagai seorang lelaki bersama Yah. Mereka menjalin cinta yang
tertunda. Mereka membangun kasih dalam jalan yang salah.
Kebersamaan Tono dan Yah tercium juga oleh Tini. Tanpa
sepengetahuan Tono, Tini melabrak perempuan yang telah mengganggu kehidupan
rumah tangganya itu. Namun, setelah berdebat beberapa saat dengan Yah, Tini
menjadi luluh hatinya. Kemudian ia menyerahkan Tono kepada Yah. Yah merasa
tidak berhak atas diri Tono. Ia menolak untuk hidup bersama Tono. Keputusan
Tini untuk meninggalkan Tono sudah bulat. Tini merasa bisa bernafas bebas
keluar dari biduk rumah tangganya. Namun Yah juga demikian. Perasaannya
mengatakan bahwa dia mencintai Tono, namun di sisi lain juga hatinya berkata
bahwa ia harus meninggalkan Tono.
Dengan berat hati Tono melepas kepergian Tini. Ketika
ia datang ke rumah Yah, ia tidak mendapati Yah di sana. Yah pergi
meninggalkannya seperti apa yang telah dilakukan oleh Tini.
2.2 Latar Kehidupan Sosial Budaya
Belenggu mengisahkan secara kental cinta segitiga
antar Tono, Tini, dan Yah. Namun dibalik cinta segitiga itu, terdapat kehidupan
sosial budaya yang dipertentangkan. Pertentangan tersebut nampak pada tokoh
Rusdio dan Tini.
“Memang, Ibu!
Jalan pikiran kita berlainan. Aku berhak juga menyenangkan pikiranku,
menggemburakan hatiku. Aku manusia juga yang berkemauan sendiri. Kalau menurut
pendapat Ibu, kemauanku mesti tunduk kepada kemauan suamiku. Bukan, Ibu,
bukankan d3emikian? Kami masing-masing berkemauan sendiri.” ( hal 53)
Tini yang ditinggal pergi Tono karena Tono sibuk mengurursi pasiennya
siang dan malam merasa terabaikan sehingga ia mencari kesenangan sendiri.
Menurut pendapatnya, tinadakan yang ia lakukan adalah bukan tindakan yang
salah. Namun menurut pandangan kaum tua pada saat itu, tindakan tersebut tidak
sehaunya dilakukan oleh seorang istri. Hal tersebut tidak menandakan sebagai
seorang istri yang baik.
Tidak hanya tokoh Rusdio yang menentang apa yang Tini
lakukan. Pada bagian lain, pertentangan itu juga disampaikan oleh anggota
keluarga Tini yang lain.
Menginap di rumah paman....... ah, jangan, ada-ada saja omongannya.
Selalu saja menyindir-nyindir dia, modern, gila-gialan barat. (hal 94-95)
Wanita pada masa itu, telah bebas dan berhak mengenyam
pendidikan. Hal tersebut mungkin karena mereka dari kalangan atas. Tokoh-tokoh
yang disampaikan Armijn dalam novel tersebut khususnya tokoh wanita, merupakan
nyonya-nyonya yang memiliki derajat pendidikan yang tidak rendah. Acara bazar
yang dilaksanakan di rumah sakit adalah hal yang mustahil jika dikelola oleh
wanita-wanita yang kurang dalam mengenyam pendidikan. Tono dan Tini adalah
cerminan keluarga berpendidikan namun gagal dalam membina keutuhan rumah tangga
mereka.
“Ingat lagi
nyonya, beberapa tahun yang lalu, nyonya masih sekolah, ingat lagi sopir yang
membawa nyonya dan tuan studen Technische Hoogeschool?” (hal 132)
Persamaan hak antara kaum perempuan dan kaum lelaki pada masa itu
bukanlah merupakan hal yang masih perlu dipertanyakan lagi. Mereka kaum
perempuan, sudah bisa menjadi apa yang mereka mau. Namun, dalam kasus Tono dan
Tini hal tersebut rupanya menjadi sebuah
masalah. Pokok dari permasalahan tersebut adalah karena kesibukan Tono
sebagai seorang dokter sehingga ia mengacuhkan Tini. Hal tersebut membuat Tini
merasa bahwa Tono menikahi Tini bukan karena cinta melainkan karena
kepantasannya dijadikan seoarang istri dokter sebab Tini adalah seorang yang
berpendidikan. Hal kebebasan wanita inilah yang kemudan menjadi pertentangan
antara kaum muda dan kaum tua pada novel tersebut yang telah dijelaskan
sebelumnya di atas.
Kehidupan sosial budaya yang dipaparkan dalam novel
tersebut slah satunya adalah musik. Musik menjadi bagian yang cukup
diperhitungkan. Karena musik juga menjadi salah satu sarana dalam cerita. Jenis
musik yang menjadi sentral dalam masa itu adalah musik keroncong. Novel Belengggu juga memaparkan cerita tentang
Yah yang sebenarnya adalah penyanyi keroncong idaman Tono, Siti Hayati. Banyak
bagian dalam novel tersebut dari awal hingga akhir yang mendapat sentuhan
tentang musik, yaitu musik keroncong.
Dia berdiri di
hadapan radio. Diputarna knop penghubung ke kawat listrik, lampu menyala
didalam, diputarnya knop untuk gelombang, diputarnya sampai 190, terdengar lagu
keroncong baru lalu diperlahankannya. Dia pergi bersandar kepada mejatulisnya .
suara terhenti. Kata ompurer: Sehabis ini akan diperdengarkan suara Siti Hayati
dari piring hitam dengan lagu: Ingat Aku. (hal 57-58)
Terdengar
kepada Tono lagu pembuka, bagai air meriakk, membuka simpulan dalam pikirnya,
tiba-tiba terdengar suara. Dia tiba-tiba berdiri, mendengarkan dengan teliti.
“Suara Siti
Hayati!” katanya dengan gembira. (hal 75)
Lagu dimulai.
Sebentar kemudian Siti Hayati menyanyi Tono mengejapkan matanya. Suaranya agak
lain dari radio, di plat gromofoon, percies suara Yah, suara Yah pada malam
itu, dia menyanyi. Dibukanya matanya, Yah menyanyi dengan sepenuh
hatinya:....... (hal 117)
2.3 Kehidupan Masyarakat
Pengarang memberikan sebuah gambaran kehidupan masyarakat
yang mewah dalam novel tersebut. Hal ini tentu dapat menimbulkan kontradiksi
mengingat pada masa novel tersebut tercipta Indonesia belum memasuki masa
kemerdekaan. Wanita pada masa itu juga telah mempunyai kedudukan di mata
masyarakat. Hal tersebut dicerminkan dengan para wanita yang mengengola
kagiatan bazar yaitu seperti Rusdio, Sutatmo, Padma, dan Aminah. Kehidupan
mereka bisa dibilang kehidupan yang glamour.
Tentu saja hal tersebut hanya terdapat pada kalangan wanita yang memiliki
pendidikan yang tinggi.
Seorang dokter yang memasyarakat seperti dokter
Sukartono tentu sangat jarang ditemukan pada masa sekarang ini. Jika kita
melihat dokter-dokter pada kehidupan masyarakat saat ini, tentu yang tergambar
jelas adalah dokter-dokter yang hanya mementingkan materi saja. Banyak terdapat
sebuah papan di halaman rumah para dokter yang bertuliskan kapan mereka buka
praktik, yaitu pada pagi hari antara pukul sekian hingga pukul sekian dan malam
antara pukul sekian hingga pukul sekian juga. Selain itu, maka dokter tidak
melayani pasien. Bahkan dalam papan nama tesebut tidak dicantumkan nomor
telepon yang bisa dihubungi dan juga biasanya tercantum hari minggu atau hari
besar tutup. Bebeda dengan dokter Tono yang siap sedia kapan pun dia sempat.
Ketika dia di rumah sakit, telepon dari pasien-pasien untuknya dia catat. Dia
akan mengunjungi pasien tersebut tidak peduli waktu. Hal tersebutlah yang
memicu keretakan rumah tangganya.
Kawin paksa juga menjadi sorotan pengarang dalam novel
tersebut. Yah yang notabene berasal dari keluarga tidak mampu dijodohkan dengan
seseorang oleh orang tuanya. Kawin paksa dalam kehidupan masyarakat zaman
sekarang belum sepenuhnya memudar. Pada masa sekarang ini, kasus-kasus
perjodohan masih sering terjadi pula. Sperti yang diungkapkan pada novel Dadaisme karangan Dewi Sartika juga menggambarkan
kawin paksa. Novel tresebut diterbitkan pada tahun 2004 dan mengisahkan masa
kini bukan masa lalu. Kehidupan tentang kawin paksa dalam masyarakat tidak
pernah tidak menarik untuk juga diikutkan dalam jalannya sebuah peristiwa.
Kehidupan sosial yang mewah merupakan cerminan dari
kehidupan masyarakat yang kebarat-baratan. Dalam cerita tersebut disampaikan
bagaimana kehidupan orang-orang kelas atas yang condong kepada kehidupan barat.
Surat yang dituliskan Tati kepada Tini adalah salah satu contoh bagaimana
kehidupan barat telah berbaur dengan kehidupan masyarakat pribumi.
“Yu, yu, sekarang aku suka
menonton, kerap-kerap, suka benar berdansa...... aku takut Yu, berhadap-hadapan
dengan jiwaku. Tiada seorang juga keluargaku yang setuju.” (hal 71).
Kalimat terakhir dalam paragraf tersebut memberikan
asumsi bahwa menonton, berdansa, bukanlah sebuah hal yang lazim dalam norma
kemasyarakatan saat itu. Keluarga terdiri atas orang yang dituakan menentang
dengan apa yang dilakukan oleh Tati. Hal tersebut dapat dikarenakan karena
orang tua memang masih memegang teguh nilai-nilai kemasyarakatan pribumi.
Mereka menganggap hal yag kebarat-baratan merupakan sebuah hal yang tidak patas
dilakukan.
2.4 Tanggapan Pengarang
Belenggu merupakan pikiran pengarang. Keadaan sosial
budaya dan keadaan masyarakat merupakan wujud
pemikiran pengarang tentang kodisi sosial kemasyarakatan pada masa itu.
Pengarang ingin mengungkapkan pikiran, ide, gagasan, maupun pendapatnya terhadap
kehidupan lingkungannya melalui nove tersebut.
Belenggu adalah cerminan hati ketiga tokoh utama yaitu
Tono, Tini, dan Yah. Tono adalah seorang yang mulai hidup dalam modernitas
namun masih meragukan dirinya untuk maju jauh lebih melangkah ke depan. Mungkin
begitu pula tanggapan jiwa Armijn dalam menghadapi kehidupan baru dan modern.
Pengarang masih ragu dalam menginjakkan kakinya selangkah lebih di depan.
Pengarang menampilkan tokoh-tokoh yang terbelenggu oleh keadaan sosial
masyarakat selain terbelenggu oleh cinta. Beberapa sastrawan lain menganggap
karya Armijn adalah sebuah karya yang realisme dan kebarat-baratan. Tokoh
tersebut adalah sebagai berikut.
Kaum kolot tentu akan gempar oleh cemeti realisme yang dilecut-lecut
dengan sangat oleh pengarang. Kaum muda, kaum baru, tentu akan bersorak
membacanya, oleh keinsafan, keberanian pengarang memancarkan cahaya pada
hal-hal yang tak patut dan tak layak. Memang, pena Saudara Armijn Pane di sini,
terang amat “tidak kenal kasihan” terhadap hal-hal yang buruk, dan oleh karena
itu nyatalah, bahwa pena saudara itu pena Pujangga sejati, yang hendak berjuang
yang hendak menghindarkan hal-hal buruk untuk membangun semangat baik dan
jernih dalam sanubari masyarakat Indonesia. (1992:10)
M.R.
Djaroh, “Pudjangga Baru”, Des, 1994
Satu kemenangan telah tentu: kesusastraan Indonesia dapat aliran baru,
aliran dengan cara Armijn. Armijn identik zaman baru, zaman teknik, abad ke-20.
(1992:9)
Karir
Halim, “Pudjangga Baru,” Des, 1994
Sikap Armijn yang demikian tersebut memberikan
penafsiran bahwa Armijn ingin sedikit meninggalkan kehidupan yang bisa dibilang
sedikit terbelakang. Pengarang menampilkan tokoh Tini yang menentang norma
kemasyarakatan pada saat itu. Dalam kata-kata yang penulis tuliskan sebagai
pendahuluan dari novel ini penulis mengungkapkan sebagai berikut.
Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engaku, jangan enggan
menempuh angin ribut, taufan badai, ke tempat pelabuhan yang hendak engkau
tuju. Berlayarlah engaku ke dunia baru. (hal 5)
Penulis rupanya memiliki pandangan yang realistis terhadap kehidupan. Berlayarlah engkau ke dunia baru merupakan
sebuah ungkapan yang menunjukkan betapa penulis sangat antusias untuk mengikuti
perkembangan zaman yang terjadi. Namun, tanggapan seseorang antara yang satu dengan
yang lain tentang kehidupan yang baru tidaklah sama. Hal ini juga lah yang
Armijn utarakan dalam pena Belenggunya.
Jika melirik cerita kawin paksa antara Yah dan
suaminya, kita akan berasumsi bahwa pengarang tidak begitu sepakat dengan
budaya kawin paksa tersebut. Armijn menganggap bahwa kawin paksa akan
menimbulkan banyak kerugian dan penderitaan bagi sebagian pihak. Hal tersebut
diilustrasikan dari tokoh Yah yang menderita akibat kawin paksa yang dilakukan
oleh orang tuanya kepada dirinya. Ini juga merupakan salah satu gambaran bahwa
penulis ingin melepaskan hal-hal lama yang telah mendarah daging di dalam
masyarakat yang penulis anggap merugikan.
BAB III
SIMPULAN
Pendekatan sosiopsikologis dalam novel belenggu merumuskan tiga hal. Yang
pertama adalah kehidupan sosial budaya. Kehidupan sosial budaya dalam novel
belenggu adalah sebagai berikut.
1. Pertentangan
kehidupan sosial antara kaum muda dan kaum tua.
2. Wanita
sudah bisa mengenyam pendidikan tinggi.
3. Budaya
musik pada saat itu adalah musik keroncong.
Yang kedua yaitu kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat dalam novel
Belenggu dapat dipaparkan sebagai berikut.
1. Kehidupan
masyarakat yang mewah yang merupakan pengaruh dari kehidupan masyarakat barat.
2. Dokter
pada masa itu dapat dikatakan memiliki budi yang lebih luhur daripada dokter
pada masa sekarang.
3. Kehidupan
masyarakat dengan kawin paksa belum bisa terlepaskan satu sama lain.
Yang ketiga adalah tanggapan jiwa pengarang yaitu bahwa pengarang ingin
melangkahkan kakinya ke dunia baru, dunia yang lebih modern. Namun, disamping
semua itu, bahwa masyarakat masih belum bisa menerima kehidupan yang modern
merupakan hal yang menimbulkan keraguan dalam diri pengarang untuk melangkahkan
kakinya. Pengarang merupakan seorang yang realisme.